Ini zaman modern, wahai muslimah!
Coba kamu saksikan realitas di lapangan; banyak sekali wanita muslimah yang keluar rumah untuk bekerja. Mereka bekerja dengan alasan yang beragam; mulai dari alasan untuk membantu keuangan keluarga hingga untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, karena uang dari suami tidak mencukupi.
Persoalan wanita muslimah yang berkarir di luar rumah, telah melahirkan pro dan kontra: ada orang yang membolehkan dan ada juga yang melarang.
Lantas, bagaimana Islam memandang hal demikian?
Ingat wahai muslimah, Islam mengatur setiap aspek kehidupan, bahkan sampai hal kecil sekalipun. Apalagi soal harkat dan martabat wanita; Islam sangat memerhatikan dan mengistimewakan wanita.
Coba Anda telaah, bahwa sebelum datang Islam, wanita ditempatkan serendah-rendahnya. Pada masa jahiliyah saja, bila seseorang melahirkan bayi wanita, akan merasa tercoreng hingga berani menguburnya hidup-hidup.
Datangnya Islam menjadi cahaya yang menerangi kegelapan masyarakat jahiliyah; wanita nasibnya berubah menjadi mulia, dan keterbelakangan wanita tidak terjadi lagi. Islam menempatkan kedudukan wanita dengan layak, memberikan hak-haknya, memuliakan kedudukannya; baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan, bahkan sebagai seorang isteri.
Beryukurlah wahai wanita muslimah, karena…
• Kita ditempatkan secara mulia karena Islam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi isterinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi sandang, papan, dan pangan.
• Sebagai seorang isteri kita tidak diwajibkan untuk menafkahi keluarga, tetapi mendapatkan apa yang kita butuhkan dengan cara meminta pada suami.
Sebetulnya, Islam tidak melarang seorang wanita muslimah untuk berkarir dan bekerja di ranah publik. Apalagi dengan tantangan zaman yang semakin canggih, tidak tepat apabila masih melarang seorang wanita muslimah untuk berkarir di luar rumah.
Anjuran bagi wanita muslimah tidak keluar dari rumahnya, kalau tidak ada kebutuhan yang mendesar; sementara ketika ada keperluan untuk bekerja, maka anjuran itu tidak bersifat pengharaman. Perlu kita ketahui bahwa kewajiban mencari nafkah bukan tanggung jawab kita sebagai seorang isteri; nafkah itu wajib dipenuhi oleh suami kita.
Hal itu Allah perintahkan, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 7).
Ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban menafkahi terletak di pundak suami kita, tetapi kalau Anda berniat meringankan beban suami, hal itu lebih mulia karena bebannya akan sedikit berkurang.
Suatu ketika Hindun binti ‘Utbah mengadu pada Rasulullah Saw. Ia berujar, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan sembunyi-sembunyi.“
Waktu itu, Rasulullah Saw. Bersabda, “Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Kalau seandainya suami Anda tidak memberikan nafkah yang cukup, hadits tersebut menganjurkan kita untuk mengambil harta suami dengan cara yang baik. Misalnya, kita bekerja sampingan agar kebutuhan hidup kita terpenuhi atau terjun menjadi pebisnis yang tidak melupakan rumah tangga.
Lantas, bagaimana Islam mengatur bila wanita muslimah berkarir? Kita boleh berkarir, asalkan memperhatikan persyaratan berikut:
1. Kerja kita harus mendapatkan izin dari wali.
Wali adalah kerabat kita yang berasal dari garis nasabiyah (Ayah, Paman), garis sababiyah (suami), garis ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan umara, yakni pemimpin seperti hakim pernikahan atau yang mempunyai wewenang. Tetapi, sebagai seorang wanita yang sudah menikah, profesi kita harus halal dan harus mendapat izin dari suami.
2. Ketika bekerja, kita harus berpakaian secara syar’i
Di kantor atau di tempat kerja, kita harus mampu menjaga diri dari gangguan lelaki lain dengan memakai pakaian syar’i, yakni menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, tidak transparan, tidak longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak berlebihan memakai wewangian.
3. Di tempat kerja, kita harus menghindari fitnah
Pekerjaan kita juga harus bebas dari berbagai fitnah, sebagai implementasi dari menjaga kehormatan dan kesucian kita. Untuk menjaga agar tempat kerja tidak menjadi sumber fitnah, kita diperintahkan untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita muslimah boleh keluar rumah untuk bekerja. Namun, hendaknya kita memahami jenis pekerjaan apa yang cocok digeluti seorang wanita muslimah itu?
Di bawah ini kami sertakan pekerjaan yang sesuai dengan wanita muslimah yang tidak bertentangan dengan aturan Islam. Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, diantaranya adalah:
• Dokter, perawat, bidan, dan pelayan medis, seperti bekam, apoteker, dan pekerja laboratorium. Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa dengan syarat dalam keadaan darurat.
• Tentara dan kepolisian, dengan syarat fungsinya terbatas pada pekerjaan yang cocok dengan wanita muslimah, seperti tenaga administrasi, memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita, dan resepionis.
• Guru, dosen dan tenaga pengajar. Bagi wanita muslimah mengajar di depan pria tetap harus menjaga adab, seperti memakai hijab dan menjaga suara.
• Penjahit dan Desainer. Pekerjaan ini sangat sesuai dengan fitrah kewanitaan kita, sehingga banyak sekali wanita muslimah yang terjun di dunia fashion.
• Pertanian. Wanita muslimah boleh menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
• Perdagangan.
Jual beli boleh kita geluti kalau masih bisa menjaga diri agar tidak ber-khalwat, ber-ikhtilat, dan bisa menjauhi fitnah.
• Tata rias kecantikan.
Pekerjaan ini boleh digeluti wanita muslimah dengan syarat tidak menyalahi ketetapan Allah seperti tidak menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, dan melihat aurat wanita yang diharamkan. Kita juga tidak boleh menggunakan benda dan obat yang membahayakan tubuh, dan tidak menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami perias sendiri.
Wanita salehah, meskipun bekerja, ia tidak akan pernah melupakan fungsinya di dalam rumah tangga. Kesibukan dalam bekerja tidak menyebabkan dirinya leha-leha terhadap tugasnya di dalam keluarga. Ia akan tetap mengembangkan senyuman kepada suaminya, mendidik anak-anaknya penuh kasih sayang, dan bisa menciptakan ketenangan jiwa pada seluruh anggota keluarga.
Kecemerlangan karir dengan mendapatkan poisi tinggi, tidak mengakibatkan dirinya merasa jemawa, sombong, dan judes terhadap suaminya. Ia tetap menempatkan suaminya sebagai kepala rumah tangga yang tak bisa disepelekan perannya dalam membangun keluarga bahagia, sakinah, dan pembuka pintu surge.
Ingatlah wahai muslimah, terhadap kodrat dan fungsimu di dalam rumah tangga. Ketika kita mendapatkan karir yang hebat, bukan berarti kita harus bersikap sombong dengan posisi yang dicapai.
"Seorang ibu itu adalah sekolah. Jika engkau persiapkan, niscaya engkau telah mempersiapkan suatu bangsa." (Hafiz Ibrahim).