Step by Step Hijrah: Kenalilah Rabb-mu dengan Baik!
  • Jelajahi

    Copyright © nasihatku - Referensi Hijrah Terbaik
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Step by Step Hijrah: Kenalilah Rabb-mu dengan Baik!

    Tim Redaksi
    21 Oktober 2022, 17:53 WIB Last Updated 2022-10-21T10:53:11Z


    “Pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Allah”
    . Demikian amirul mukminin, Ali ibn Abi Thalib pernah berpesan. 


    Pesan paling penting dari ungkapan tersebut, bahwa pelajaran utama dalam hidup adalah mengenal Allah. Dalam ajaran sufistik makrifatullah pun disebutkan sebagai pangkal agama Islam.


    Bahkan, kalau kita ingat kembali, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasul Saw. pun tentang pentingnya mengenal Allah. Saat itulah pertama kali konsep Tuhan atau Rabb itu dikenalkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. melalui malaikat Jibril. 


    “Bacalah demi asma Tuhanmu yang telah menciptakan, yang menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung. Bacalah demi pemeliharamu yang Maha Mulia, yang telah mengajari lewat perantaraan qalam!” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).


    Pelajaran pertama yang diterima Rasul inilah yang harus meneguhkan hati kita tentang siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Kita hanyalah makhluk yang diciptakan sebagai bagian kecil dari alam semesta. 


    Dari wahyu tersebut, pelajaran pertama yang diperlihatkan kepada Rasul untuk kemudian diajarkan pada umatnya adalah tauhidullah. Allah adalah Tuhan yang aktif berkarya, bukan Tuhan yang pasif, apalagi dikendalikan oleh pikiran manusia. Dia yang menjaga, bukan dijaga!


    Allah adalah subjek awal kehidupan. Dia adalah Tuhan yang pertama yang aktif mencipta dan akan terus mencipta. Dia berbuat nyata. Dia tidak perlu kita untuk menyembah-Nya. 


    Akan tetapi kita sendiri yang harus mengimani-Nya sebagai pencipta kita dan pencipta seluruh kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kita tahu, untuk apa kita berbuat baik, beribadah, dan taat kepada-Nya.


    Karena setelah kita mengetahui diri kita sendiri, tahu apa yang harus kita lakukan sebagai makhluk-Nya; di situlah sejatinya kita telah mengenal Tuhan. Seperti ungkapan yang seringkali diingatkan oleh para ulama, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabahu – Siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.”


    Untuk mengenal Allah, tidak perlu pergi jauh-jauh. Kita tidak harus pergi ke ujung dunia mana pun untuk mencari tahu tentang keberadaan-Nya. 


    Lihatlah diri kita, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari gerak tubuh yang bisa kita perhatikan hingga denyut nadi yang hanya bisa kita rasakan. 


    Bukankah itu bukti adanya Tuhan yang menggerakkan?


    Tubuh yang selalu aktif bergerak, pikiran dan perasaan yang selalu halus terjaga adalah modal utama agar kita mengenal Allah, Rabb kita sendiri. 


    Seperti halnya pemuda bernama Ibrahim yang selalu menjaga tubuh, pikiran, dan perasaannya tetap terjaga untuk bisa mencari Tuhan. Dan, pada akhirnya, semua itu akan membawa kita bertemu dengan Allah Sang Maha Pencipta semesta.


    Jika telah mengenal siapa Tuhan, kita akan memahami visi misi hidup dengan benar. Kita akan tahu tujuan hidup yang sebenarnya, hidup yang akan membawa pada kebahagiaan hakiki.


    Tujuan hidup bukan untuk menumpuk harta sebagaimana Qarun yang hidup di masa Nabi Musa as. Hartanya berlimpah ruah namun berakhir bencana. Allah menenggelamkan Qarun beserta seluruh harta miliknya ke dalam perut bumi.


    Tujuan hidup juga bukan untuk kekuasaan. Seperti halnya Firaun Ramses II, raja Mesir yang berambisi menciptakan kekuasaan seluas-luasnya. Ambisinya itu pula yang akhirnya menenggelamkan dia di lautan. Dia pun mati sia-sia.


    Tujuan hidup pun bukan untuk mengikuti hawa nafsu sebebas-bebasnya. Seperti musuh-musuh Rasul Saw yang dengan segala cara menentang ajaran yang dibawa Rasul karena dianggap menghalangi kehidupan dan kesenangan mereka.


    Setelah mengenal Tuhan, maka kita akan tahu kewajiban yang melekat sebagai seorang makhluk-Nya. Salah satu kewajiban yang harus kita jalankan adalah beribadah. 


    Ibadah adalah bukti ketaatan kita pada Allah. Tetapi, salah satu tuntutan dalam menjalankan ibadah adalah dengan menunaikannya secara tulus. Seringkali kita mengeluh bahwa betapa beratnya untuk ikhlas dalam beribadah. 


    Ketika teman kita mengajak untuk menonton film di bioskop, ternyata film mulai tayang pukul 17.30 dan berakhir pukul 19.30. Sudah tentu, film tersebut harus “menabrak” jam shalat Magrib. Lalu, kita merasa dilematis, apakah akan memenuhi ajakan mereka demi alasan pertemanan atau menolak karena harus mengabaikan shalat? 


    Kalau pun harus mengikuti ajakan mereka, apakah kita akan mengambil jeda untuk melakukan shalat terlebih dahulu di tengah-tengah tontonan, melewati kerumunan penonton, mengganggu mereka yang asyik menonton, berkorban ketinggalan cerita film tersebut?


    Itu hanya sebagian kecil dari ujian keikhlasan untuk beribadah. Lebih dari itu, masih banyak sekali ibadah lain yang menuntut keikhlasan dari kita sebagai hamba Allah. 


    Lalu, bagaimana agar ikhlas itu terwujud?


    Ikhlas dalam beribadah hanya bisa terwujud saat kita sebagai manusia telah sampai pada derajat makrifatullah. Mengenal Allah, mengenal Rabb yang telah menciptakan dan senantiasa menjaga kita. Tanpa berada di posisi itu, kita tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan ibadah.


    Kita tentu tidak mau hidup tanpa menjalankan ibadah. Padahal, kita diciptakan Allah hanya untuk beribadah dan kesempurnaan ibadah yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan abadi di akirat kelak. 


    Sangat disayangkan, bukan?


    Ingat, bahwa setiap aspek dalam hidup kita senantiasa menjadi ibadah. Ibadah itu bukan sekadar shalat 5 waktu, Bukan pula sekadar berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat, dan menunaikan ibadah haji saja. Bukan juga hanya ibadah-ibadah sunah yang telah disyariatkan Rasul Saw.


    Makna ibadah jauh lebih luas daripada itu. Semua yang kita lakukan dalam hidup harus bernilai ibadah. 


    Ibadah yaitu menghambakan diri kepada Allah; menyadari bahwa kita hanya makhluk-Nya, ciptaan-Nya, bagian kecil dari alam semesta. Kita bertanggung jawab pada pinjaman hidup yang diberikan Allah dengan ibadah sebagai bukti syukur dan cinta kita kepada-Nya.


    Apa yang kita gerakkan, mulai dari jentikan jari hingga langkah kaki harus bernilai ibadah. Desahan nafas, pikiran yang terus aktif digunakan untuk berpikir, mencari ide, dan bermimpi; semuanya bernilai ibadah. 


    Begitu pula dengan anggota tubuh lainnya. Tidak satu pun yang tidak dapat dimanfaatkan untuk beribadah. Dengan demikian, sempurna sudah ibadah yang kita lakukan jika kita benar-benar telah mengenal Allah. 


    Dengan mengenal Allah pula, manusia akan sampai pada fungsi hidup yang paling sejati, yaitu menjadi hamba Allah. Hamba yang hanya mengabdi pada-Nya dan menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai bukti penghambaannya.


    Ibadah yang kita lakukan merupakan bukti ketaatan kita pada Allah Swt. Penghambaan kita kepada Allah, direpresentasikan dalam wujud ibadah, sebagai wujud tanggung jawab terhadap kehidupan yang dianugrahkan-Nya. 


    Mari kita tengok ke belakang sejarah penciptaan manusia. Awalnya, para malaikat dalam kerajaan Allah merasa iri dengan rencana-Nya menciptakan manusia. Tanpa mengabaikan ketaatannya, para malaikat bertanya,


    “Tidakah cukup dengan pengabdian yang telah dilakukan selama ini, dengan bertasbih pada-Mu? Bukankah hanya akan membuat kerusakaan dan pertumpahan darah?”


    Namun, Allah membantah protes malaikat dengan firman-Nya,  


    ”Aku lebih tahu apa yang kalian tidak tahu.” 


    Itu artinya, Allah sudah punya rencana karena Allah yang mengendalikan kehidupan ini. Setelah mendengar jawaban tersebut, para malaikat berdiam diri dan senantiasa terus mengikuti perintah Allah. Maka, saat manusia tercipta, yaitu Adam, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan.


    Para malaikat pun taat kepada Allah. Hanya Iblis, makluk Allah pada saat itu yang membangkang perintah-Nya. Iblis enggan bersujud karena kesombongannya. Ia merasa lebih mulia daripada manusia karena diciptakan dari sesuatu yang lebih mulia. 


    Setelah, Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan untuk turun ke muka bumi karena melanggar larangan Allah, yakni mendekati, bahkan memakan buah terlarang di surga, menyebabkan bumi menjadi tempat tinggal manusia hingga hari akhir.


    Kisah turunnya manusia ke muka bumi dengan begitu indah diceritakan di dalam Al-Quran,


    “Turunlah kalian! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Bagi kamu ada tempat kediaman di bumi sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2]:36, QS Al-A’raf [7]: 24). 


    Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Sejak saat itulah, manusia tinggal di bumi. Saat itu, iblis pun turut serta ke bumi dan menjadi musuh manusia. Iblis sudah bersumpah akan terus menyesatkan anak-cucu Adam.


    Dialog Allah dengan para malaikat menunjukkan fungsi manusia sebagai khalifah. Meskipun awalnya ditentang para malaikat karena mereka merasa ketaatannya sudah cukup, tetapi rencana Allah tidak bisa diubah.


    Manusia bisa mencari kesejahteraan untuk hidupnya dengan modal yang diberikan Allah berupa ilmu pengetahuan. Maka itulah, ilmu menjadi pelengkap iman. Keduanya, iman dan ilmu, kelak di yaumil akhir, dapat mengangkat derajat manusia ke puncak tertinggi martabat.


    Itulah keren-nya manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Meskipun manusia adalah makhluk “terbaru” yang diciptakan Allah, tapi manusia telah mendapatkan mandat untuk senantiasa menjaga dunia yang sangat besar ini. 


    Kita—sebagai bagian dari manusia itu—tentu harus berbangga karena mendapat predikat khalifah!


    Allah tidak memilih makhluk lain yang lebih “tua” dari manusia sebagai khalifah. Dalam sebuah tafsir disebutkan bahwa para malaikat sudah beribadah kepada Allah dalam waktu yang sangat lama, jauh sebelum manusia diciptakan.


    Bahkan, fakta mencengangkan lainnya, iblis telah beribadah kepada Allah selama 80.000 tahun! Namun, Iblis harus berpuas diri karena dikutuk karena sifat sombongnya yang tidak pernah hilang sampai saat ini. Padahal, kesombongan hanyalah layak untuk Allah yang telah menciptakan segala hal di semesta ini. 


    Jadi, wajar saja, jika iblis merasa amat marah saat manusia terpilih menjadi khalifah penjaga bumi. Padahal, ia menilai bahwa dirinya makhluk paling mulia karena asal-usul penciptaannya dan ibadah yang telah lama dikerjakannya. 


    Sejak saat itu, iblis mengikrarkan diri sebagai musuh manusia hingga akhir zaman. Ikrar iblis untuk menjadi musuh manusia hingga akhir zaman merupakan akar konflik dalam diri setiap makhluk. 


    Maka, saat ini, sebagai manusia, kita, harus menjaga amanat yang diberikan Allah kepada Adam as. Kitalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di muka bumi. Kita pula yang harus menjaga keharmonisan alam. Dengan demikian, kita dapat hidup sejahtera dan menyebarkan kesejahteraan itu pada makhluk lainnya.


    Saatnya kita menunjukkan bahwa kita mampu menjadi khalifah. Kita buktikan bahwa kita tidak akan menciptakan kekacauan, kerusakan, dan pertumpahan darah seperti yang telah “diprediksi” atau ditudingkan sebelumnya.


    Dahulu, Allah telah mengutus para nabi untuk memperbaiki akhlak manusia pada zaman nabi tersebut hidup. Mereka diperintahkan untuk membawa umatnya untuk berjalan di jalan yang lurus sesuai petunjuk-Nya. 


    Lantas, bagaimana dengan kita saat ini?


    Setelah Rasulullah Saw. hadir untuk menyempurnakan ajaran Islam, tentu tidak ada satu pun lagi manusia yang diutus menjadi nabi. Namun demikian, kita tetap punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan para utusan Allah dalam menjaga kehidupan di dunia. Termasuk menjalankan semua perintah Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.


    Itulah fitrah manusia. Melanjutkan estafet perjuangan para utusan terdahulu dalam mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah; menjalani kehidupan sebagai khalifah di bumi.   


    Siap menjadi khalifah?


    Tentu harus siap! Menjadi khalifah adalah tugas personal kita sebagai ciptaan Allah. Setiap individu dituntut untuk memainkan perannya. Paling tidak, sebagai khalifah yang bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah Sang Pencipta. 


    Inilah kesiapan kita sebagai khalifah di muka bumi. 


    Siap menjalankan semua perintah Allah dengan melakukan ibadah wajib dan sunah, serta menghindari maksiat. Siap menjaga keharmonisan dengan sesama dengan senantiasa berbuat baik dan menolong. Siap menjaga bumi ini dari kerusakan dan mencegah orang lain merusaknya


    Jika kita telah siap melakukan semua upaya tersebut, itu artinya kita telah berjiwa khalifah fil ardhi, khalifah di muka bumi. Khalifah yang sesungguhnya akan senantiasa menebar perdamaian, memelihara alam agar tetap lestari, dan menjaga dunia dari perbuatan kacau dan amoral. 


    Sebagai manusia – kita – telah dipilih Allah untuk menjadi khalifah, mewakili-Nya untuk menjaga bumi ini. Karena itu, saatnya, kita mulai bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. 


    Ya, berhijrah dari masa lalu dan membuka lembaran masa-masa yang baru serta meningkatkan diri lebih baik dari waktu ke waktu.


    Sebagai wakil-Nya, tugas kita adalah menebar sifat-sifat Tuhan. Saling memberi, menolong, dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Menjadi pribadi yang baik, bersiap menjadi anutan.


    Mari mulai bergerak, menjadikan hijrah sebagai aksi nyata untuk tidak merusak bumi yang kita huni. Katakan tidak pada setiap laku perusakan hanya demi memenuhi hawa nafsu.


    Tak perlu menunggu, apalagi mempersilakan orang lain untuk mengambil alih kewajiban itu karena setiap dari kita memiliki tanggung jawab untuk membangun peradaban lahir dan batin.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Cendekia

    +