tag:blogger.com,1999:blog-21165601001420238472024-02-29T18:02:35.071+07:00nasihatku - Referensi Hijrah TerbaikReferensi Hijrah TerbaikUnknownnoreply@blogger.comBlogger174125tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-8267878574553778992023-04-08T09:44:00.002+07:002023-04-08T09:44:21.217+07:00Quotes Utsman Ibn Affan: Kesedihan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgd7KP1QQILzBSdN4Dnt5ghwFEOT8QWveYDbiHFPTHa9Xr12dulhek4SK0Rx5QXcqVtjEMGCtWFIn0oZC9NzamKUYH-WbbptP380GNxAcS93w9QlFOuMrQrwoStL3MJiv4M891GY3RgxH0/s700/utsman.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="700" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgd7KP1QQILzBSdN4Dnt5ghwFEOT8QWveYDbiHFPTHa9Xr12dulhek4SK0Rx5QXcqVtjEMGCtWFIn0oZC9NzamKUYH-WbbptP380GNxAcS93w9QlFOuMrQrwoStL3MJiv4M891GY3RgxH0/s16000/utsman.jpeg" /></a></div><br />Sedih adalah hal yang bisa datang menghampiri kepada siapa pun. Jika bersedih berlebihan untuk urusan dunia dilarang, maka bersedih atas urusan akhirat dianjurkan.<br /><br />Namun, bersedih atas urusan dunia hanya akan menjadi sebab turunnya kesempitan dan kegelapan di dalam hati.<br /><br />Karena itu, bersedih hati memikirkan urusan akhirat, bisa jadi sebab turunnya cahaya di dalam jiwa. Sungguh, Allah lebih menyukai tangisan sedih seorang hamba karena memikirkan nasibnya di akhirat, daripada hamba yang menangis sedih hanya karena urusan dunia yang fana.<br /><br />Sementara cengeng, gampang menangis dan bersedih hati memikirkan urusan akhirat, akan menjadi penerang jiwa, cahaya kemuliaan, dan mencerahkan batin. Dan, hal ini merupakan tanda, jiwamu terang benderang, hatimu suci, dan jasadmu sehat-afiyat.<br /><blockquote><p style="text-align: center;"><b><b>Ut</b></b><b><b>s</b></b><b><b>man </b></b><b><b>I</b></b><b><b>bn Affan </b></b><b><i><b><i>r.a</i></b></i></b><b><b> </b></b><b><b>berujar,</b></b><b><b> </b></b></p><p style="text-align: center;"><b><b>“</b></b><b><b>Kesedihan dalam urusan dunia dapat menggelapkan hati, sedangkan kesedihan dalam urusan akhirat bisa menerangi hati.</b></b><b><b>”</b></b></p><br /></blockquote>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-38310735616200804522022-11-24T16:59:00.000+07:002022-11-24T16:59:09.290+07:008 Adab Membaca Al-Quran yang Berpahala Surga Bila Dilakukan<p><i><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDnZwI90ULXxhj8QKLr-FB39rPBavjynDj939f1FrC6jC6wfU8mKImp15y-8uuAYWg3J3l2J7KtCbLmYY6dSeYJH5n9M2gw56q_Uk7cdhkrTTidQK4fTSISgRVYUZLOukFOU7n5ZJlbiaCD4Fg-n2zj-3Yw_4OsSs-OQCHEhVwqLANNOht5SvAFlv3/s700/baca-quran.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhDnZwI90ULXxhj8QKLr-FB39rPBavjynDj939f1FrC6jC6wfU8mKImp15y-8uuAYWg3J3l2J7KtCbLmYY6dSeYJH5n9M2gw56q_Uk7cdhkrTTidQK4fTSISgRVYUZLOukFOU7n5ZJlbiaCD4Fg-n2zj-3Yw_4OsSs-OQCHEhVwqLANNOht5SvAFlv3/s16000/baca-quran.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />“Hai orang-orang yang beriman! Betobatlah kamu kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu menutupi kesalahan-kesalahan kamu dan memasukanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”</i> (QS Al-Tahrim [66]: 8).</p><p><br /></p><p>Bagaimana jika ada yang mengatakan, <i>“Saya membaca Al-Quran setiap hari, tapi tidak ada getaran batin dan hidup saya masih begini-begini saja tidak ada perubahan apapun!” </i></p><p><br /></p><p>Adakah yang salah dengan keluhan seperti ini? Jika memang seperti itu, berarti ada dua kemungkinan penyebabnya, di antaranya yaitu:</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">Pertama, adanya keraguan. </h3><p><br /></p><p>Ketika di dalam hati mengenai keutamaan membaca kitab Allah ini. Al-Quran adalah kitab yang berisi petunjuk dan kebenaran-kebenaran yang Allah sampaikan. Allah sendiri yang menegaskan kebenaran itu dan tidak ada keraguan.</p><p><br /></p><p>“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raf [7]: 52).</p><p><br /></p><p>Ketika hati tidak yakin dengan Al-Quran, ragu dengan hadis Nabi yang mengatakan keutamaan membaca dan mengamalkan kitab suci Al-Quran, maka seketika itu pula keraguan itu jadi penghalang datangnya rahmat Allah. </p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">Kedua, kurangnya penghormatan kepada Al-Quran. </h3><p><br /></p><p>Al-Quran adalah kitab suci yang Allah turunkan kepada Nabi. Membacanya adalah ibadah yang berpahala di sisi Allah. Jangankan membacanya, mendengarkan orang yang membaca Al-Quran kemudian kita tidak mengerti maknanya saja itu termasuk ibadah yang bernilai menurut syariat.</p><p><br /></p><p>Adapun adab membaca Al-Quran adalah sebagai berikut:</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">1. Harus dalam keadaan suci</h3><p><br /></p><p>Al-Quran adalah kitab suci, kalam Allah yang penuh hikmah, yang apabila kita membacanya dianjurkan untuk terlebih dahulu dalam keadaan suci—berwudhu. </p><p><br /></p><p>Namun, ada juga ijma ulama yang membolehkan membaca Al-Quran dalam keadaan najis. Akan tetapi, lebih sempurna dan utama adalah dalam keadaan suci.</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">2. Dibaca dengan tertib (tartil)</h3><p><br /></p><p>Sikap terburu-buru adalah datangnya dari setan. Maka dari itu, tertib atau tartil dalam membaca Al-Quran adalah lebih utama. Tertib dalam membaca, tajwidnya, dan penghayatannya. Bahkan, Nabi menegaskan, “Siapa saja yang membaca Al-Quran (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami.” (HR Ahmad). </p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">3. Dibaca dengan penuh kekhusyukkan</h3><p><br /></p><p>Rasulullah menganjurkan agar membaca Al-Quran itu sebisa mungkin harus menangis, jika tidak, minimal seakan-akan menangis. Apalagi jika kita mengerti makna dan maksud ayat yang kit abaca, itu lebih utama lagi, bahkan bisa membuat kita menangis tersedu-sedu. “Bacalah Al-Quran dan menangislah. Apabila kamu tidak menangis, maka usahakanlah seakan-akan menangis (karena ayat yang engkau baca). (HR Al-Bazzar).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">4. Membaguskan suara</h3><p><br /></p><p>Rasulullah menganjurkan agar membaca Al-Quran dengan penuh seni dan dihiasi dengan suara yang baik dan merdu. “Hiasilah Al-Quran dengan suaramu.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, dan Hakim).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">5. Diawali dengan membaca “isti’adzah”</h3><p><br /></p><p>Dalam melakukan hal apapun, kita wajib meminta perlindungan dari Allah, apalagi jika hendak membaca Al-Quran. Yaitu ketika membaca ayat yang dibaca mulai dari awal surat, setelah istia’adzah kemudian membaca bismillah. Kecuali surat Al-Taubah, tanpa harus membaca bismillah, tapi cukup isti’adzah saja. </p><p><br /></p><p>Allah berfirman di dalam Al-Quran, “Dan jika kamu hendak membaca Al-Quran, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari (godaan-godaan) setan yang terkutuk.” (QS Al-Nahl [16]: 98).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">6. Berusaha memahami artinya</h3><p><br /></p><p>Mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran sedangkan kita tidak paham maknanya, itu suatu ibadah dan kebaikan. Bagaimana jika kita tahu makna atau artinya dengan baik? </p><p><br /></p><p>Maka itu lebih baik lagi bahkan lebih utama daripada yang sekadar mendengarkan saja. “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?” (QS Muhammad [47]: 24).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">7. Bacaannya tidak mengganggu orang shalat</h3><p><br /></p><p>Membaca Al-Quran adalah kebaikan dan termasuk amal saleh. Maka apabila membacanya dengan suara keras sampai mengganggu orang—apalagi yang sedang melaksanakan shalat, itu tidak termasuk ibadah, karena sudah membuat gangguan pada orang lain. Sedangkan mengganggu orang lain termasuk kepada perbuatan yang zalim. </p><p><br /></p><p>“Ingatlah bahwasannya setiap dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat surat atas yang lain di dalam membaca (Al-Quran).” (HR Abu Daud, Nasai, Baihaqi, dan Hakim).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">8. Berdoa setelah membaca Al-Quran</h3><p><br /></p><p>Apa yang harus dilakukan ketika selesai membaca Al-Quran? Yang utama tentu saja ditutup dengan lantunan doa kepada Allah. Bahkan, para sahabat di zaman Nabi seringkali khatam membaca Al-Quran kemudian diakhiri dengan doa, “Semoga rahmat turun atas selesainya membaca Al-Quran!” </p><p><br /></p><p>Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Anan bin Malik bahwasannya apabila ia telah selesai khatam membaca Al-Quran, ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa.” (HR Abu Daud).</p><p><br /></p><p>Itulah beberapa adab yang sejatinya kita selalu amalkan agar bacaan yang kita baca menjadi sempurna dan berkah. Bila tidak, takutnya bacaan kita tidak sempurna dan tidak mendatangkan kebaikan dari Allah. ***<b>(SAB)</b></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-8132048577278631052022-11-23T16:07:00.004+07:002022-11-23T16:08:11.982+07:00Agar Terbebas dari Fitnah Utang, Bacalah Surah Al-Kahfi<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj95IaGS4mnUbHNlT_AxA6kdjdYd1tdkQwnq_W3gB6qnXtKLQqApVmq5HkEodWQ_-63BU0h8YAhsk8oaAFa0w7ATmLLtDzPxDCJ2O0YZp0TWf54Mz8FYYbvIbE4XygB6EGRMe_2V-iMps9DgjxIDJ8zmkqu28XgJ-m3kYPT47wAg0vyBenfYfSUQqOq/s800/baca-quran-1.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="800" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj95IaGS4mnUbHNlT_AxA6kdjdYd1tdkQwnq_W3gB6qnXtKLQqApVmq5HkEodWQ_-63BU0h8YAhsk8oaAFa0w7ATmLLtDzPxDCJ2O0YZp0TWf54Mz8FYYbvIbE4XygB6EGRMe_2V-iMps9DgjxIDJ8zmkqu28XgJ-m3kYPT47wAg0vyBenfYfSUQqOq/s16000/baca-quran-1.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Karena makna surah Al-Kahfi begitu luhung dan berdampak dahsyat bagi pembacanya yang mengamalkan kandungannya, bila kita memiliki waktu luang di malam Jumat, coba saja membaca Surah Al-Kahfi. <p></p><p><br /></p><p>Selain harus membaca dengan tartil, kita juga harus mempelajari isi kandungan Surah Al-Kahfi ini dengan baik dan benar. Apabila sudah begitu, qadarullah kita akan mendapatkan semangat yang luar biasa dalam mencari kehidupan dunia yang berkah dan utamanya akan dijauhkan dari fitnah Dajjal dan utang. </p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw., bersabda, <i>“Barangsiapa yang membaca sepuluh ayat terakhir Surah Al-Kahfi, maka hal tersebut akan menjaganya dari Fitnah Dajjal.”</i> (HR Muslim).</p><p><br /></p><p>Cukup hanya dengan membaca dan memahami ayat 1-10 dari Surah Al-Kahfi, kita akan terbebas dari fitnah utang dan mendapatkan keberkahan hidup di dunia maupun di akhirat. Perlu diingat, bahwa agar kita tidak terjebak pada perilaku khrafat, sejatinya menanam keyakinan, bahwa Allah semata yang dapat mengubah sesuatu hal atas kehendak-Nya. </p><p><br /></p><p>Meskipun surah Al-Kahfi ialah firman Allah, dengan meyakini bahwa surah ini bila dibaca tanpa usaha dan doa akan mengabulkan apa yang kita inginkan (melunasi utang), kami pikir tidak berdasarkan niat yang suci. </p><p><br /></p><p>Karena itu, mari kita baca doa berikut sebelum membaca Al-Quran untuk memohon khasiat kebaikan dari pembacaan kita terhadap surah Al-Kahfi. </p><p><br /></p><p><b><i>“Allahummaghfirlii bil qur'aani. Allahummarhamnii bil qur'aani. Allahummahdinii bil qur'aani. Allahummarzuqnii bil qur'aani.”</i></b></p><p><br /></p><p>Artinya: “Ya Allah ampunilah aku dengan Al-Qur'an. Ya Allah kasihilah aku dengan Al-Qur'an. Ya Allah berilah petunjuk kepadaku dengan Al-Qur'an. Ya Allah berilah rezeki kepadaku dengan Al-Qur'an.” (HR. Ibn Abi Syaibah). </p><p><br /></p><p>Kemudian, agar utang kita lunas di dunia dan akhirat, bacalah doa berikut:</p><p><br /></p><p><i><b>“Allahumma anta al-awwalu falaisa qablaka syai’un wa anta al-akhiru falaisa ba’daka syai’un wa anta al-zahiru falaisa fauqaka syai’un wa anta al-bathinu falaisa duunaka syai’un. Iqdhi ‘anna al-daina wa aghninaa min al-faqri.”</b></i></p><p><br /></p><p>Artinya: “Ya Allah, Engkaulah yang pertama, tidak ada sesuatu pun sebelum-Mu; Engkau yang paling akhir, tidak ada sesuatu pun setelah-Mu; Engkaulah yang lahir, tidak ada sesuatu pun yang mengungguli-Mu; dan Engkau yang batin, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Mu, maka lunasilah utang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran (kemiskinan).” (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Al-Hakim dan Ibn Hibban).</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-72140916615519251202022-11-20T11:52:00.009+07:002022-11-20T11:52:42.208+07:00Berbaktilah Pada Orangtua Kamu, Niscaya Dibuka Pintu Surga-Nya<p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpe4nwNmkJI_ZSZCcMwJqfcoCw8NUqf6zXaWkhEZaJHwwxKmylRypp4MiDG9C-pd7vTDF6brhUnq0vq6R2wc6WJabG9qZvqng9n6GIRJRXASo7djWa-jdcw1oOFwmKVtWmDtgL_0uYlExGcsxOiK_4Jy97W0CEfprMJWNyf84nXhqfWWHIYYw03nVq/s700/orangtua.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="393" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpe4nwNmkJI_ZSZCcMwJqfcoCw8NUqf6zXaWkhEZaJHwwxKmylRypp4MiDG9C-pd7vTDF6brhUnq0vq6R2wc6WJabG9qZvqng9n6GIRJRXASo7djWa-jdcw1oOFwmKVtWmDtgL_0uYlExGcsxOiK_4Jy97W0CEfprMJWNyf84nXhqfWWHIYYw03nVq/s16000/orangtua.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Sebetulnya, kita tidak perlu repot-repot mencari surga di luar rumah. Karena di dalam rumah kita pun ada surga yang tersedia: ibu dan ayah kita. </p><p><br /></p><p>Mereka berdua adalah surga yang disediakan Allah bagi kita bila selalu berbuat baik, mengabdi, dan membalas jasa mereka dalam hidup ini. </p><p><br /></p><p>Ya, bakti kita kepada mereka akan membuahkan surga, membuka pintunya, dan diberi ampunan oleh Allah. Karena itu, sebagai seorang anak, kita harus berbakti kepada mereka dengan tulus ikhlas. </p><p><br /></p><p>Berbakti kepada mereka — ibu dan bapak kita— ganjarannya ialah ampunan dari Allah atas dosa yang dilakukan. Di akhirat kelak pula, kita akan mendapatkan kebahagiaan, kesenangan, dan kegembiraan bila selama hidup selalu berbuat baik kepada mereka. </p><p><br /></p><p>Karena itu, jangan lantas terjadi, kita selalu berbuat durhaka kepada mereka, selalu membantah perintahnya, dan selalu melawan keinginannya. Karena, nasib kita di akhirat ditentukan oleh apa yang kita lakukan selama hidup di dunia kepada mereka. Sakit hati mereka adalah onak berduri bagi perjalanan kita menuju surga Allah. </p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw., bersabda, “Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau ingin maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah ia.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).</p><p><br /></p><p>Tetapi, anak-anak zaman sekarang seolah tidak tahu bahwa orang tua merupakan pintu surga di dunia, sehingga kedurhakaan merajalela: kita selalu menuntut kebaikan dan perhatian mereka; tetapi tak dibalas dengan kebaikan dan perhatian tatkala mereka mulai sepuh. </p><p><br /></p><p>Ketika orang tua sepuh dan sakit-sakitan, mereka ditinggalkan sebatang kara untuk menikmati hari tuanya, sementara anaknya tidak pernah menjenguknya. </p><p><br /></p><p>Ketika orang tua memiliki keinginan yang tak bisa dipenuhi, bentakan dan suara keras membahana menyakiti hati mereka. </p><p><br /></p><p>Sebagai anak saleh dan salehah, kita sejatinya mengingat bagaimana perjuangan mereka dalam mengasuh, memberi pendidikan, memberi makan, dan menyayangi kita penuh kasih sayang. Kita juga, sejatinya menyadari bahwa pengorbanan mereka yang tiada tara sehingga kita menjadi dewasa, tumbuh dan berkembang hingga detik ini. </p><p><br /></p><p>Jasa mereka tidak akan pernah mampu kita balas. Jasa mereka pun tiada tara. Allah mengistimewakan orang tua kita sebagai pintu tengah surga yang harus kita jadikan pusat kebaktian selama hidup di dunia. Bahkan, ketika mereka sudah meninggal dunia pun, kita memiliki kewajiban bakti dengan mendoakan kebaikan bagi mereka. </p><p><br /></p><p>Suatu ketika dua sahabat, Abu Musa Al-Asy’ari dan Abu Amir ra menemui Rasulullah Saw., untuk masuk Islam. Sesampainya di hadapan Rasul, mereka ditanya, “Apa yang kamu lakukan terhadap istrimu yang kamu tuduh ini dan itu?”</p><p><br /></p><p>Mereka berdua menjawab, “Kami tinggalkan dia bersama keluarganya.”</p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw., bersabda, “Sesungguhnya mereka telah diampuni.”</p><p><br /></p><p>“Mengapa bisa begitu, wahai Rasulullah?” tanya mereka.</p><p><br /></p><p>Beliau menjawab, “Karena ia telah berbuat baik kepada ibunya.”</p><p><br /></p><p>Kemudian Nabi Saw., melanjutkan sabdanya, “Dia memiliki ibu yang sangat tua. Suatu ketika ada orang yang berseru, “Hai, ada musuh yang hendak memporak-porandakan kalian!” Lalu ia menggendong ibunya yang telah tua itu. Bila kelelahan, ia turunkan ibunya kemudian ia gendong ibunya di depan. Ia taruh telapak kaki ibunya di atas telapak kakinya agar ibunya tidak terkena panas. Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka selamat dari sergapan musuh.”</p><p><br /></p><p>Karena itu, bagi orang yang ibu dan bapaknya sudah meninggal dunia, kewajiban kita ialah mendoakannya agar berada disisi Allah. Ini dijelaskan oleh Nabi Saw., ketika seseorang datang padanya, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah masih tersisa sesuatu sebagai baktiku kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?”</p><p><br /></p><p>Beliau menjawab, “Ya, engkau mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, memuliakan teman keduanya, dan silaturahmi yang tidak tersambung kecuali dengan keduanya.” (HR. Al-Hakim).</p><p><br /></p><p>Karena itu, sangat keliru jika ada orang yang beranggapan bahwa baktinya telah usai ketika orang tua telah wafat. Bakti seorang anak kepada orang tua senantiasa menjadi utang yang harus ditunaikan sampai nyawa meregang dari jasadnya. </p><p><br /></p><p>Berbakti kepada ibu dan ayah adalah kewajiban, sementara bagi orang tua, mendapatkan bakti anaknya merupakan hak yang sudah ditetapkan Allah Swt. Maka, ketika seorang anak tidak berbakti kepada orang tuanya, ia akan mendapatkan dosa yang besar, yang akan membawanya menuju neraka. Surga yang selama ini kita idamkan, bisa diraih (hanya) dengan berbakti kepada orang tua.</p><p><br /></p><p>Bakti kepada orang tua bisa mengundang surga Allah, sementara durhaka kepada mereka tentunya akan mendatangkan siksa neraka yang memedihkan. </p><p><br /></p><p>Suatu ketika Ibnu Umar ra bertanya kepada seseorang, “Apakah engkau takut masuk neraka dan ingin masuk ke dalam surga?”</p><p><br /></p><p>Orang itu menjawab, “Ya!”</p><p><br /></p><p>Ibnu Umar berkata, “Berbaktilah kepada ibumu. Demi Allah, jika engkau melembutkan kata-kata untuknya, memberinya makan, niscaya engkau akan masuk surga selama engkau menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Bukhari). </p><p><br /></p><p>Kami yakin bahwa sebagai seorang mukmin dan mukminah, hidup indah itu bukan hanya di dunia; tetapi juga harus mewujud di akhirat. Karena itu, untuk memuluskannya, selain berbakti kepada Allah, kita juga harus berbakti kepada orang tua, kepada mereka berdua, kepada ibu dan ayah kita. *** <b>(SAB) </b> </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-52557400015407616312022-10-26T20:32:00.004+07:002022-11-20T11:50:11.305+07:00Makna Hijrah Itu Berubah Jadi Lebih Baik<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfzp8ktt5tdFwKUuvobnZEPCqQZ7jR24aBq4FiIgRwhjJAY0kst4ScSySTiw6z_hFBiCdTL7Xgnsk8q2BCP2mLoczI1BywUizZiQJt3uygwLHJI8xo4KvRQYX7rGYYynutHD774bTbUgjNnsuBxID7htQEipBxvMbpPkaOoyRpF3azgFC68zx7ucoZ/s900/makna-hijrah.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="600" data-original-width="900" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfzp8ktt5tdFwKUuvobnZEPCqQZ7jR24aBq4FiIgRwhjJAY0kst4ScSySTiw6z_hFBiCdTL7Xgnsk8q2BCP2mLoczI1BywUizZiQJt3uygwLHJI8xo4KvRQYX7rGYYynutHD774bTbUgjNnsuBxID7htQEipBxvMbpPkaOoyRpF3azgFC68zx7ucoZ/s16000/makna-hijrah.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Perubahan adalah sunatullah atau keharusan dalam hidup. Perubahan sangat penting dalam hidup setiap orang. Buktinya, tidak ada satu orang pun yang tidak pernah berubah dalam hidupnya. <p></p><p><br /></p><p>Justru, perubahan adalah tanda kehidupan. Berbahaya sekali, bila seseorang tidak pernah berubah: kehidupannya stagnan dan monoton. </p><p><br /></p><p>Air yang diam dalam sebuah genangan lama-lama akan mengandung kotoran, akhirnya mengandung penyakit. Air di sungai yang tidak mengalir lama-lama akan mengeluarkan bau busuk yang juga menimbulkan bahaya bagi lingkungan. </p><p><br /></p><p>Itulah pentingnya perubahan.</p><p><br /></p><p>Bagaimana dengan diri kita? </p><p><br /></p><p>Perubahan seumpama tubuh yang mesti bergerak aktif. Kalau kita hanya berdiam diri tanpa melakukan gerakan, tentunya sangat membahayakan diri. Kita rentan terkena penyakit obesitas, diabetes, dan darah tinggi. </p><p><br /></p><p>Perubahan juga adalah ketentuan Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Sejak kita dikandung di alam rahim selama 9 bulan atau lebih, lalu dilahirkan, kemudian dibesarkan, dan tumbuh hingga dewasa. </p><p><br /></p><p>Karena itu, di dalam hidup keseharian, kita juga mesti menganut prinsip perubahan karena dengan melakukan perubahan maka kehidupan masa depan akan cerah benderah. </p><p><br /></p><p>Masalahnya, apakah kita akan menyikapi perubahan itu dengan positif atau negatif? </p><p><br /></p><p>Lalu, apakah hasil perubahan itu akan menjadi lebih baik atau sebaliknya: menjadi lebih buruk?</p><p><br /></p><p>Perubahan yang kita idamkan tentu adalah perubahan menuju hal yang lebih baik dan perubahan yang mampu disikapi secara positif.</p><p><br /></p><p>Namun, sebagian di antara kita, seringkali merasa takut dengan perubahan. Padahal perubahan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Ketakutan terhadap perubahan hanya akan membuat produktivitas menurun. Akibatnya, alih-alih menjadi lebih baik, kita malah mendatangkan keburukan bagi orang lain.</p><p><br /></p><p>Jika selama ini kita selalu diwanti-wanti untuk selalu move on dari masa lalu yang buruk, maka sesungguhnya Allah pun telah menyerukan hal yang sama jauh sebelum orang-orang mengatakan demikian. </p><p><br /></p><p>Hijrah, bergeraklah! </p><p><br /></p><p>Hijrah adalah move on, berpindah dan menjauh dari keburukan di masa lalu.</p><p><br /></p><p>Itulah contoh sederhana bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan. Perubahan harus menempa kita menjadi pribadi yang lebih kuat. Maka, semakin banyak perubahan yang terjadi, diri kita pun akan semakin baik dan hidup pun menjadi berkualitas.</p><p><br /></p><p>Oleh karena itu, perubahan harus terus terjadi dan dicari. </p><p><br /></p><p>Untuk apa? </p><p><br /></p><p>Tentu untuk peningkatan diri, untuk memperbaiki diri, untuk menjadikan diri kita lebih baik daripada hari kemarin. </p><p><br /></p><p>Coba kita lihat jalanan yang sering kita lalui setiap hari; coba siapa yang tidak mengenal produk-produk kendaraan dari Jepang, seperti merk-merk ternama Toyota, Honda, Kawasaki, atau Suzuki. </p><p><br /></p><p>Mengapa produk-produk itu bisa menguasai pasar negeri kita? </p><p><br /></p><p>Apakah itu berlangsung seketika? </p><p><br /></p><p>Tidak. </p><p><br /></p><p>Bangsa Jepang termasuk bangsa yang sempat tertinggal dalam kemajuan ilmu dan teknologi. Namun, kemudian mereka mau berubah dengan berguru kepada bangsa lain yang sudah maju, misalnya kepada bangsa Jerman.</p><p><br /></p><p>Restorasi di masa Meiji terjadi pada tahun 1867-1869. Inilah yang dicatat sebagai titik tolak kemajuan bangsa Jepang. </p><p><br /></p><p>Siapakah Meiji? </p><p><br /></p><p>Dia bernama asli Mutsuhito yang lahir di Kyoto, 3 November 1852 dan meninggal pada 30 Juli 1912, sebagai Kaisar Jepang ke-122. </p><p>Sebelumnya, Jepang merupakan negara tertutup dari negara luar dan dijalankan secara feodalistik. Barulah setelah Meiji berkuasa, ada sebuah perubahan besar yang terjadi. Kebijakan restorasi (pembaruan) oleh Meiji kemudian mengubah wajah Jepang menjadi negara maju hingga saat ini. </p><p><br /></p><p>Perubahan dalam sistem politik, ekonomi, dan pendidikan telah membuat Jepang di abad ke-19 menjadi negara Asia yang maju, menyaingi negara maju dari Barat. Inilah buah perubahan di negeri Sakura. </p><p><br /></p><p>Diakui atau tidak, kenyataan sejarah membuktikan Restorasi Meiji membawa Jepang kepada suatu perubahan yang lebih baik.</p><p><br /></p><p>Karena itu, ketika kita hendak berhijrah atau berubah menjadi lebih baik; ciptakanlah lingkungan yang mendukung perubahan itu. Ingat, bahwa lingkungan berperan penting dalam mengubah hidup seseorang. Karena, sudah tabiat manusia saling mempengaruhi satu sama lain dalam kehidupannya. </p><p><br /></p><p>Untuk menjadi pribadi yang lebih baik, kita harus memiliki prinsip hidup yang kuat. Selain itu, kita pun harus mendapat motivasi yang baik yang mampu membuat perilaku kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. </p><p><br /></p><p>Lantas, kapan kita berubah menjadi lebih baik? </p><p><br /></p><p>Sekarang. </p><p><br /></p><p>Jangan pernah ditunda-tunda. </p><p><br /></p><p>Jangan pernah sia-siakan kesempatan hidup yang diberikan Allah karena tidak tahu kapan kesempatan itu hilang diambil Sang Pencipta, sebelum kita sempat melakukan perubahan diri.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-48721651607857921882022-10-21T17:53:00.002+07:002022-10-21T17:53:11.880+07:00Step by Step Hijrah: Kenalilah Rabb-mu dengan Baik!<p><i><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuJQ2XM7cy5cRfvWhUVtUOuURsrLVO114K0d0iPyQobmXOXw1ueOYdE8mxkpTUUOPJe0YLSgFolNBqTD0fJYwyvrg8eLybpwpsW4NVnShPhTW-M88MFTgcxTtMjW4RWLQcI-L7QDWDZ67FpATuDc-p9FM2O11q6iNU5ULSwkFwUK0pjZLPi_bozV2z/s700/kenalilah-rabb-mu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="400" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuJQ2XM7cy5cRfvWhUVtUOuURsrLVO114K0d0iPyQobmXOXw1ueOYdE8mxkpTUUOPJe0YLSgFolNBqTD0fJYwyvrg8eLybpwpsW4NVnShPhTW-M88MFTgcxTtMjW4RWLQcI-L7QDWDZ67FpATuDc-p9FM2O11q6iNU5ULSwkFwUK0pjZLPi_bozV2z/s16000/kenalilah-rabb-mu.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />“Pokok pangkal agama adalah makrifat tentang Allah”</i>. Demikian amirul mukminin, Ali ibn Abi Thalib pernah berpesan. </p><p><br /></p><p>Pesan paling penting dari ungkapan tersebut, bahwa pelajaran utama dalam hidup adalah mengenal Allah. Dalam ajaran sufistik makrifatullah pun disebutkan sebagai pangkal agama Islam.</p><p><br /></p><p>Bahkan, kalau kita ingat kembali, wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasul Saw. pun tentang pentingnya mengenal Allah. Saat itulah pertama kali konsep Tuhan atau Rabb itu dikenalkan oleh Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. melalui malaikat Jibril. </p><p><br /></p><p>“Bacalah demi asma Tuhanmu yang telah menciptakan, yang menciptakan manusia dari sesuatu yang menggantung. Bacalah demi pemeliharamu yang Maha Mulia, yang telah mengajari lewat perantaraan qalam!” (QS. Al-‘Alaq [96]: 1-5).</p><p><br /></p><p>Pelajaran pertama yang diterima Rasul inilah yang harus meneguhkan hati kita tentang siapa diri kita dan dari mana kita berasal. Kita hanyalah makhluk yang diciptakan sebagai bagian kecil dari alam semesta. </p><p><br /></p><p>Dari wahyu tersebut, pelajaran pertama yang diperlihatkan kepada Rasul untuk kemudian diajarkan pada umatnya adalah tauhidullah. Allah adalah Tuhan yang aktif berkarya, bukan Tuhan yang pasif, apalagi dikendalikan oleh pikiran manusia. Dia yang menjaga, bukan dijaga!</p><p><br /></p><p>Allah adalah subjek awal kehidupan. Dia adalah Tuhan yang pertama yang aktif mencipta dan akan terus mencipta. Dia berbuat nyata. Dia tidak perlu kita untuk menyembah-Nya. </p><p><br /></p><p>Akan tetapi kita sendiri yang harus mengimani-Nya sebagai pencipta kita dan pencipta seluruh kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan demikian, kita tahu, untuk apa kita berbuat baik, beribadah, dan taat kepada-Nya.</p><p><br /></p><p>Karena setelah kita mengetahui diri kita sendiri, tahu apa yang harus kita lakukan sebagai makhluk-Nya; di situlah sejatinya kita telah mengenal Tuhan. Seperti ungkapan yang seringkali diingatkan oleh para ulama, “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabahu – Siapa yang mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.”</p><p><br /></p><p>Untuk mengenal Allah, tidak perlu pergi jauh-jauh. Kita tidak harus pergi ke ujung dunia mana pun untuk mencari tahu tentang keberadaan-Nya. </p><p><br /></p><p>Lihatlah diri kita, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dari gerak tubuh yang bisa kita perhatikan hingga denyut nadi yang hanya bisa kita rasakan. </p><p><br /></p><p>Bukankah itu bukti adanya Tuhan yang menggerakkan?</p><p><br /></p><p>Tubuh yang selalu aktif bergerak, pikiran dan perasaan yang selalu halus terjaga adalah modal utama agar kita mengenal Allah, Rabb kita sendiri. </p><p><br /></p><p>Seperti halnya pemuda bernama Ibrahim yang selalu menjaga tubuh, pikiran, dan perasaannya tetap terjaga untuk bisa mencari Tuhan. Dan, pada akhirnya, semua itu akan membawa kita bertemu dengan Allah Sang Maha Pencipta semesta.</p><p><br /></p><p>Jika telah mengenal siapa Tuhan, kita akan memahami visi misi hidup dengan benar. Kita akan tahu tujuan hidup yang sebenarnya, hidup yang akan membawa pada kebahagiaan hakiki.</p><p><br /></p><p>Tujuan hidup bukan untuk menumpuk harta sebagaimana Qarun yang hidup di masa Nabi Musa as. Hartanya berlimpah ruah namun berakhir bencana. Allah menenggelamkan Qarun beserta seluruh harta miliknya ke dalam perut bumi.</p><p><br /></p><p>Tujuan hidup juga bukan untuk kekuasaan. Seperti halnya Firaun Ramses II, raja Mesir yang berambisi menciptakan kekuasaan seluas-luasnya. Ambisinya itu pula yang akhirnya menenggelamkan dia di lautan. Dia pun mati sia-sia.</p><p><br /></p><p>Tujuan hidup pun bukan untuk mengikuti hawa nafsu sebebas-bebasnya. Seperti musuh-musuh Rasul Saw yang dengan segala cara menentang ajaran yang dibawa Rasul karena dianggap menghalangi kehidupan dan kesenangan mereka.</p><p><br /></p><p>Setelah mengenal Tuhan, maka kita akan tahu kewajiban yang melekat sebagai seorang makhluk-Nya. Salah satu kewajiban yang harus kita jalankan adalah beribadah. </p><p><br /></p><p>Ibadah adalah bukti ketaatan kita pada Allah. Tetapi, salah satu tuntutan dalam menjalankan ibadah adalah dengan menunaikannya secara tulus. Seringkali kita mengeluh bahwa betapa beratnya untuk ikhlas dalam beribadah. </p><p><br /></p><p>Ketika teman kita mengajak untuk menonton film di bioskop, ternyata film mulai tayang pukul 17.30 dan berakhir pukul 19.30. Sudah tentu, film tersebut harus “menabrak” jam shalat Magrib. Lalu, kita merasa dilematis, apakah akan memenuhi ajakan mereka demi alasan pertemanan atau menolak karena harus mengabaikan shalat? </p><p><br /></p><p>Kalau pun harus mengikuti ajakan mereka, apakah kita akan mengambil jeda untuk melakukan shalat terlebih dahulu di tengah-tengah tontonan, melewati kerumunan penonton, mengganggu mereka yang asyik menonton, berkorban ketinggalan cerita film tersebut?</p><p><br /></p><p>Itu hanya sebagian kecil dari ujian keikhlasan untuk beribadah. Lebih dari itu, masih banyak sekali ibadah lain yang menuntut keikhlasan dari kita sebagai hamba Allah. </p><p><br /></p><p>Lalu, bagaimana agar ikhlas itu terwujud?</p><p><br /></p><p>Ikhlas dalam beribadah hanya bisa terwujud saat kita sebagai manusia telah sampai pada derajat makrifatullah. Mengenal Allah, mengenal Rabb yang telah menciptakan dan senantiasa menjaga kita. Tanpa berada di posisi itu, kita tidak akan pernah sampai pada kesempurnaan ibadah.</p><p><br /></p><p>Kita tentu tidak mau hidup tanpa menjalankan ibadah. Padahal, kita diciptakan Allah hanya untuk beribadah dan kesempurnaan ibadah yang akan mengantarkan kita menuju kebahagiaan abadi di akirat kelak. </p><p><br /></p><p>Sangat disayangkan, bukan?</p><p><br /></p><p>Ingat, bahwa setiap aspek dalam hidup kita senantiasa menjadi ibadah. Ibadah itu bukan sekadar shalat 5 waktu, Bukan pula sekadar berpuasa di bulan Ramadhan, berzakat, dan menunaikan ibadah haji saja. Bukan juga hanya ibadah-ibadah sunah yang telah disyariatkan Rasul Saw.</p><p><br /></p><p>Makna ibadah jauh lebih luas daripada itu. Semua yang kita lakukan dalam hidup harus bernilai ibadah. </p><p><br /></p><p>Ibadah yaitu menghambakan diri kepada Allah; menyadari bahwa kita hanya makhluk-Nya, ciptaan-Nya, bagian kecil dari alam semesta. Kita bertanggung jawab pada pinjaman hidup yang diberikan Allah dengan ibadah sebagai bukti syukur dan cinta kita kepada-Nya.</p><p><br /></p><p>Apa yang kita gerakkan, mulai dari jentikan jari hingga langkah kaki harus bernilai ibadah. Desahan nafas, pikiran yang terus aktif digunakan untuk berpikir, mencari ide, dan bermimpi; semuanya bernilai ibadah. </p><p><br /></p><p>Begitu pula dengan anggota tubuh lainnya. Tidak satu pun yang tidak dapat dimanfaatkan untuk beribadah. Dengan demikian, sempurna sudah ibadah yang kita lakukan jika kita benar-benar telah mengenal Allah. </p><p><br /></p><p>Dengan mengenal Allah pula, manusia akan sampai pada fungsi hidup yang paling sejati, yaitu menjadi hamba Allah. Hamba yang hanya mengabdi pada-Nya dan menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai bukti penghambaannya.</p><p><br /></p><p>Ibadah yang kita lakukan merupakan bukti ketaatan kita pada Allah Swt. Penghambaan kita kepada Allah, direpresentasikan dalam wujud ibadah, sebagai wujud tanggung jawab terhadap kehidupan yang dianugrahkan-Nya. </p><p><br /></p><p>Mari kita tengok ke belakang sejarah penciptaan manusia. Awalnya, para malaikat dalam kerajaan Allah merasa iri dengan rencana-Nya menciptakan manusia. Tanpa mengabaikan ketaatannya, para malaikat bertanya,</p><p><br /></p><p>“Tidakah cukup dengan pengabdian yang telah dilakukan selama ini, dengan bertasbih pada-Mu? Bukankah hanya akan membuat kerusakaan dan pertumpahan darah?”</p><p><br /></p><p>Namun, Allah membantah protes malaikat dengan firman-Nya, </p><p><br /></p><p>”Aku lebih tahu apa yang kalian tidak tahu.” </p><p><br /></p><p>Itu artinya, Allah sudah punya rencana karena Allah yang mengendalikan kehidupan ini. Setelah mendengar jawaban tersebut, para malaikat berdiam diri dan senantiasa terus mengikuti perintah Allah. Maka, saat manusia tercipta, yaitu Adam, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam sebagai bentuk penghormatan.</p><p><br /></p><p>Para malaikat pun taat kepada Allah. Hanya Iblis, makluk Allah pada saat itu yang membangkang perintah-Nya. Iblis enggan bersujud karena kesombongannya. Ia merasa lebih mulia daripada manusia karena diciptakan dari sesuatu yang lebih mulia. </p><p><br /></p><p>Setelah, Adam dan istrinya, Hawa, diperintahkan untuk turun ke muka bumi karena melanggar larangan Allah, yakni mendekati, bahkan memakan buah terlarang di surga, menyebabkan bumi menjadi tempat tinggal manusia hingga hari akhir.</p><p><br /></p><p>Kisah turunnya manusia ke muka bumi dengan begitu indah diceritakan di dalam Al-Quran,</p><p><br /></p><p>“Turunlah kalian! Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Bagi kamu ada tempat kediaman di bumi sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Baqarah [2]:36, QS Al-A’raf [7]: 24). </p><p><br /></p><p>Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Sejak saat itulah, manusia tinggal di bumi. Saat itu, iblis pun turut serta ke bumi dan menjadi musuh manusia. Iblis sudah bersumpah akan terus menyesatkan anak-cucu Adam.</p><p><br /></p><p>Dialog Allah dengan para malaikat menunjukkan fungsi manusia sebagai khalifah. Meskipun awalnya ditentang para malaikat karena mereka merasa ketaatannya sudah cukup, tetapi rencana Allah tidak bisa diubah.</p><p><br /></p><p>Manusia bisa mencari kesejahteraan untuk hidupnya dengan modal yang diberikan Allah berupa ilmu pengetahuan. Maka itulah, ilmu menjadi pelengkap iman. Keduanya, iman dan ilmu, kelak di yaumil akhir, dapat mengangkat derajat manusia ke puncak tertinggi martabat.</p><p><br /></p><p>Itulah keren-nya manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya. Meskipun manusia adalah makhluk “terbaru” yang diciptakan Allah, tapi manusia telah mendapatkan mandat untuk senantiasa menjaga dunia yang sangat besar ini. </p><p><br /></p><p>Kita—sebagai bagian dari manusia itu—tentu harus berbangga karena mendapat predikat khalifah!</p><p><br /></p><p>Allah tidak memilih makhluk lain yang lebih “tua” dari manusia sebagai khalifah. Dalam sebuah tafsir disebutkan bahwa para malaikat sudah beribadah kepada Allah dalam waktu yang sangat lama, jauh sebelum manusia diciptakan.</p><p><br /></p><p>Bahkan, fakta mencengangkan lainnya, iblis telah beribadah kepada Allah selama 80.000 tahun! Namun, Iblis harus berpuas diri karena dikutuk karena sifat sombongnya yang tidak pernah hilang sampai saat ini. Padahal, kesombongan hanyalah layak untuk Allah yang telah menciptakan segala hal di semesta ini. </p><p><br /></p><p>Jadi, wajar saja, jika iblis merasa amat marah saat manusia terpilih menjadi khalifah penjaga bumi. Padahal, ia menilai bahwa dirinya makhluk paling mulia karena asal-usul penciptaannya dan ibadah yang telah lama dikerjakannya. </p><p><br /></p><p>Sejak saat itu, iblis mengikrarkan diri sebagai musuh manusia hingga akhir zaman. Ikrar iblis untuk menjadi musuh manusia hingga akhir zaman merupakan akar konflik dalam diri setiap makhluk. </p><p><br /></p><p>Maka, saat ini, sebagai manusia, kita, harus menjaga amanat yang diberikan Allah kepada Adam as. Kitalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di muka bumi. Kita pula yang harus menjaga keharmonisan alam. Dengan demikian, kita dapat hidup sejahtera dan menyebarkan kesejahteraan itu pada makhluk lainnya.</p><p><br /></p><p>Saatnya kita menunjukkan bahwa kita mampu menjadi khalifah. Kita buktikan bahwa kita tidak akan menciptakan kekacauan, kerusakan, dan pertumpahan darah seperti yang telah “diprediksi” atau ditudingkan sebelumnya.</p><p><br /></p><p>Dahulu, Allah telah mengutus para nabi untuk memperbaiki akhlak manusia pada zaman nabi tersebut hidup. Mereka diperintahkan untuk membawa umatnya untuk berjalan di jalan yang lurus sesuai petunjuk-Nya. </p><p><br /></p><p>Lantas, bagaimana dengan kita saat ini?</p><p><br /></p><p>Setelah Rasulullah Saw. hadir untuk menyempurnakan ajaran Islam, tentu tidak ada satu pun lagi manusia yang diutus menjadi nabi. Namun demikian, kita tetap punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan para utusan Allah dalam menjaga kehidupan di dunia. Termasuk menjalankan semua perintah Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.</p><p><br /></p><p>Itulah fitrah manusia. Melanjutkan estafet perjuangan para utusan terdahulu dalam mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah; menjalani kehidupan sebagai khalifah di bumi. </p><p><br /></p><p>Siap menjadi khalifah?</p><p><br /></p><p>Tentu harus siap! Menjadi khalifah adalah tugas personal kita sebagai ciptaan Allah. Setiap individu dituntut untuk memainkan perannya. Paling tidak, sebagai khalifah yang bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah Sang Pencipta. </p><p><br /></p><p>Inilah kesiapan kita sebagai khalifah di muka bumi. </p><p><br /></p><p>Siap menjalankan semua perintah Allah dengan melakukan ibadah wajib dan sunah, serta menghindari maksiat. Siap menjaga keharmonisan dengan sesama dengan senantiasa berbuat baik dan menolong. Siap menjaga bumi ini dari kerusakan dan mencegah orang lain merusaknya</p><p><br /></p><p>Jika kita telah siap melakukan semua upaya tersebut, itu artinya kita telah berjiwa khalifah fil ardhi, khalifah di muka bumi. Khalifah yang sesungguhnya akan senantiasa menebar perdamaian, memelihara alam agar tetap lestari, dan menjaga dunia dari perbuatan kacau dan amoral. </p><p><br /></p><p>Sebagai manusia – kita – telah dipilih Allah untuk menjadi khalifah, mewakili-Nya untuk menjaga bumi ini. Karena itu, saatnya, kita mulai bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. </p><p><br /></p><p>Ya, berhijrah dari masa lalu dan membuka lembaran masa-masa yang baru serta meningkatkan diri lebih baik dari waktu ke waktu.</p><p><br /></p><p>Sebagai wakil-Nya, tugas kita adalah menebar sifat-sifat Tuhan. Saling memberi, menolong, dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Menjadi pribadi yang baik, bersiap menjadi anutan.</p><p><br /></p><p>Mari mulai bergerak, menjadikan hijrah sebagai aksi nyata untuk tidak merusak bumi yang kita huni. Katakan tidak pada setiap laku perusakan hanya demi memenuhi hawa nafsu.</p><p><br /></p><p>Tak perlu menunggu, apalagi mempersilakan orang lain untuk mengambil alih kewajiban itu karena setiap dari kita memiliki tanggung jawab untuk membangun peradaban lahir dan batin.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-40125880999813059892022-10-19T20:34:00.007+07:002022-10-19T20:34:42.926+07:00Alasan Tepat Kenapa Harus Berhijrah<p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigJyuHpZUrfLOJV31Z60yP7rExksbt9CIjIYjR6mphut0OvWz947LeF179dxotO7CX8-BTr_fwC5EGOCUzEipuhkZoQW7PqwvSxVCaLF2Yn5gk_n2JVSflhwxpJCWhINYZ3IxxHHpQVwqOmwzgonT-m0lPDDQUQHWhMIlk1b18mq1fTmjD79ovDgLv/s830/kenapa-hijrah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="465" data-original-width="830" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigJyuHpZUrfLOJV31Z60yP7rExksbt9CIjIYjR6mphut0OvWz947LeF179dxotO7CX8-BTr_fwC5EGOCUzEipuhkZoQW7PqwvSxVCaLF2Yn5gk_n2JVSflhwxpJCWhINYZ3IxxHHpQVwqOmwzgonT-m0lPDDQUQHWhMIlk1b18mq1fTmjD79ovDgLv/s16000/kenapa-hijrah.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Kenapa kita harus berhijrah? </p><p><br /></p><p>“Harimau mati meninggalkan belangnya. Gajah mati meninggalkan gadingnya. Manusia mati meninggalkan amalnya.”</p><p><br /></p><p>Nah, karena itulah, perbuatan baik yang kita lakukan pada dasarnya merupakan investasi jangka panjang. Kebaikan yang kita lakukan kepada orang lain sesungguhnya berguna untuk diri kita sendiri.</p><p><br /></p><p>Hijrah Rasulullah Saw. dari Mekah ke Madinah adalah sebuah peristiwa fenomenal dalam sejarah Islam. Setelah peristiwa itu, dakwah Islam mengalami kemajuan dan menyebarnya kebaikan ke seluruh jazirah Arab. </p><p><br /></p><p>Hanya dalam waktu singkat, yakni sekira 13 tahun setelah hijrah, Muslim berkembang pesat. Padahal, saat Rasul Saw. masih tinggal di Mekah, jumlah orang yang menyambut dakwah Islam dalam kurun 10 tahun dapat dihitung dengan jari.</p><p><br /></p><p>Hijrah yang membuahkan keberhasilan seperti yang dialami Rasul Saw. sesungguhnya telah dijanjikan Allah dalam ayat-Nya, ”Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. An-Nisa [4]: 100).</p><p><br /></p><p>Aktivitas hijrah yang menghasilkan kemajuan dan kebaikan lebih utama daripada perpindahan tempat semata. Hijrah hakiki ialah hijrah keimanan dan tumbuhnya kebaikan dalam diri, yakni berhijrah dari aktivitas penuh maksiat menjadi penuh dengan ketaatan pada Allah. </p><p><br /></p><p>Hijrah yang berhasil tidak hanya dialami oleh Rasul Saw. semata. Hampir semua negara dan peradaban besar di dunia dibangun oleh masyarakat pendatang yang berhijrah (muhajir). </p><p><br /></p><p>Sebagai contoh yang paling modern, Amerika Serikat yang kini dianggap sebagai salah satu negara termaju di dunia, baik dalam bidang ekonomi, militer, maupun sosial budaya, dibangun oleh masyarakat pendatang yang hijrah dari suatu tempat. </p><p><br /></p><p>Demikian juga yang terjadi di negara kita, Indonesia. Kelompok masyarakat yang menguasai sebagian besar sumber daya alam dan ekonomi adalah etnis pendatang, yaitu Tiongkok. Bahkan, kelompok masyarakat yang maju secara ekonomi, sosial, dan budaya di kota-kota besar seringkali adalah penduduk pendatang, bukan penduduk asli.</p><p><br /></p><p>Lantas, ada apa di balik fenomena hijrah?</p><p><br /></p><p>Hijrah, secara bahasa, berarti pindah dari satu tempat ke tempat lain. Aktivitas pindah ini biasa juga disebut gerak. Nah, dalam gerak inilah terdapat rahasia keberhasilan peristiwa hijrah.</p><p><br /></p><p>Di alam ini, segala sesuatu yang bergerak relatif lebih sehat dan maju. Otak yang sering digerakkan untuk berpikir akan jauh lebih sehat dan berkembang dibandingkan dengan otak yang tidak pernah digerakkan untuk berpikir. </p><p><br /></p><p>• Hati yang biasa digerakkan untuk berzikir lebih sehat dibandingkan dengan hati yang tidak pernah berzikir. </p><p><br /></p><p>• Demikian juga dengan tubuh yang aktif bergerak dengan olahraga akan lebih lebih sehat dibandingkan dengan tubuh yang tidak pernah berolahraga sama sekali.</p><p><br /></p><p>Tidak hanya dialami makhluk hidup, gerak yang menghasilkan kondisi sehat juga terjadi pada benda mati. Air yang mengalir, misalnya, lebih sehat daripada air yang tergenang. Sebersih-bersihnya air yang tergenang, air tersebut tetaplah akan menjadi sumber penyakit.</p><p><br /></p><p>Dalam salah satu syairnya, Imam Syafi’i menuturkan hal tersebut: Sesungguhnya, aku pernah melihat air yang tergenang/Jika air itu mengalir, maka ia akan menyehatkan/Sebaliknya, jika air itu tergenang, maka ia akan merusak//</p><p><br /></p><p>Jadi, aktivitas gerak atau pindah dari satu tempat ke tempat lain inilah yang menjadi prinsip dasar hijrah yang menghasilkan kemajuan. </p><p><br /></p><p>Pantas saja, Allah Swt. mendorong hamba-Nya untuk selalu bergerak di atas bumi dengan melakukan perjalanan, pergerakan dan perpindahan; yakni berhijrah.</p><p><br /></p><p>“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An-Nahl [16]: 36).</p><p><br /></p><p>Sebagaimana Allah telah perintahkan untuk selalu bergerak, mari kita mulai dengan sesuatu yang amat sederhana. Bergeraklah dengan selalu melandaskan diri pada kebaikan. </p><p><br /></p><p>Hal yang paling sederhana adalah dengan senantiasa membantu orang lain. Percayalah, membantu seseorang sesungguhnya adalah membantu diri kita sendiri di masa yang akan datang. </p><p><br /></p><p>Jangan pernah berpikir bahwa berbuat baik itu merugikan. Tak perlu ragu untuk membantu sesama, terutama orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan kita. Tidak ada kebaikan yang akan merugikan diri kita sendiri.</p><p><br /></p><p>Kebaikan yang kita lakukan, terutama pada orang-orang yang amat membutuhkan, adalah investasi kebaikan yang sangat menguntungkan. Semuanya akan menjadi tabungan amal. Tabungan amal inilah yang akan mengukir keabadian hidup.</p><p><br /></p><p>Mengapa saya sebut keabadian hidup?</p><p><br /></p><p>Sebab, amal manusia akan selalu dikenang. </p><p><br /></p><p>Rasul Saw. pernah menyampaikan pelajaran kepada para sahabat bahwa panjang umur tidaklah dihitung dari seberapa lama orang itu hidup di dunia. Panjang umur bukan persoalan usia. Akan tetapi, seseorang yang panjang umur adalah seseorang yang hidupnya senantiasa dipenuhi amal-amal yang baik.</p><p><br /></p><p>Siapa, sih, yang tidak mau hidup abadi?</p><p><br /></p><p>Setiap manusia memiliki naluri untuk hidup abadi. Kita tentu sudah tidak asing dengan Chairil Anwar yang dalam sajaknya berkata dengan penuh semangat, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.”</p><p><br /></p><p>Sayangnya, sudah menjadi ketentuan Allah bahwa tidak ada manusia yang jasadnya abadi. Raga kita tentu terbatas oleh ruang dan waktu. Akan tetapi, hidup kita bisa menjadi abadi dengan semua amal yang dilakukan selama hidup. </p><p><br /></p><p>Nama kita akan menjadi abadi karena dikenang oleh kehidupan. Lihat saja jalan-jalan yang kita lalui setiap hari. Berapa banyak di antara jalan-</p><p>jalan tersebut yang ditandai dengan nama-nama seseorang. </p><p><br /></p><p>Tentu, nama-nama yang disematkan sebagai nama jalan itu adalah nama orang-orang yang selama hidupnya dipenuhi dengan kebaikan. Kebaikan mereka bermanfaat bagi orang banyak, bahkan bangsa dan negara. Perbuatan mereka itulah yang membuat mereka selalu dikenang.</p><p><br /></p><p>Begitu juga dengan perbuatan jahat. Seseorang yang selama hidupnya dipenuhi dengan kejahatan akan selalu dikenang dalam kejahatan. Rasanya, tidak ada seorang pun yang ingin dikenal karena keburukan yang diperbuatnya. </p><p><br /></p><p>Apalagi keburukan itu melekat dalam namanya dan dikenang seumur hidup, bahkan setelah dia mati. Inilah yang harus membuat kita selalu berhati-hati dalam berbuat.</p><p><br /></p><p>Tentu, ini bukan berarti kita beramal agar selalu dikenang oleh orang-orang setelah mati kelak. Ini hanya pertanda bahwa amal yang dilakukan manusia selama hidup tidak pernah mati. Bahkan, semua amal tersebut akan menjadi ladang-ladang kebaikan yang akan menyelamatkan kita di akhirat kelak.</p><p><br /></p><p>Ladang amal itu berisi pahala kebaikan yang kita lakukan selama hidup. Pahala tersebut tentu bukan milik orang lain. Balasan amal kita selama hidup tidak pernah tertukar dengan amal orang lain. Sekali lagi, kebaikan yang kita lakukan pada hakikatnya adalah untuk kita sendiri. Bahkan, amal itu bukan pula untuk Allah Swt.</p><p><br /></p><p>Allah tidak pernah butuh shalat, puasa, zakat, atau ibadah haji yang kita tunaikan. Allah juga tidak memerlukan amal yang kita laksanakan. Itu karena Allah Mahakaya. Dia memiliki segalanya sehingga tidak ada sedikit pun amal kita lakukan untuk Allah. Semua hal yang kita lakukan hanyalah untuk kita sendiri.</p><p><br /></p><p>Kita mampu bergerak dan bernapas hanyalah karena Allah. Kehidupan ini pun hanya pinjaman. Allah telah memberikan sebuah kehidupan yang dapat kita manfaatkan hanya untuk menabung banyak amal untuk hidup kita kelak di akhirat. Inilah bentuk kasih sayang Allah kepada umat-Nya.</p><p><br /></p><p>Jadi, pilihannya hanya dua: kita mau beriman dan beramal saleh atau kafir dan berbuat kejahatan. Semuanya hanya kita yang bisa menentukan. Silakan tentukan dari sekarang! Toh, semuanya akan kembali pada diri kita.</p><p><br /></p><p>Di antara dua pilihan itu, Allah hanya mengingatkan pada kita bahwa kelak ada hari pertanggungjawaban. Kita semua akan mempertanggungjawabkan pilihan tersebut. Kita bertanggung jawab atas semua amal yang kita pilih. Dan, konsekuensinya adalah kita akan menerima pembalasan sesuai amal yang kita lakukan.</p><p><br /></p><p>Lihat, Allah saja yang menciptakan kita sangat sayang pada kita, masa kita sendiri tidak sayang pada diri sendiri? </p><p><br /></p><p>Allah telah menunjukkan pilihan yang akan memberikan kita kebahagiaan di akhirat kelak, masa kita masih mau pura-pura tidak tahu apa yang membahagiakan itu.</p><p><br /></p><p>Sekarang, kita tahu bahwa bergerak untuk kebaikan pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri sendiri. Baik untuk hidup kita di dunia maupun di akhirat kelak. </p><p><br /></p><p>Jadi, berbuat baik adalah tanda bahwa kita sayang pada diri kita sendiri. Kita tidak akan merelakan diri ini memilih jalan yang salah, yaitu dengan menjadi kafir dan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah Swt.</p><p><br /></p><p>Menebar kebaikan untuk orang lain adalah cara kita menanam saham bagi keabadian hidup. Hanya saja, saham ini sudah dijamin Allah akan menguntungkan. Tidak akan rugi sama sekali. Semakin besar kita menanam saham, maka semakin besar pula keuntungan yang akan kita peroleh.</p><p><br /></p><p>Meski jasad kita akan berhenti berfungsi suatu saat kelak, namun hidup kita sejatinya akan selalu abadi. Dan, tentu kita semua ingin hidup abadi dalam kebaikan, bukan? </p><p><br /></p><p>Nah, untuk itulah, jangan lelah berbuat baik. Semakin banyak amal baik yang kita lakukan, semakin banyak kesempatan untuk selalu dikenang dan didoakan oleh generasi kita selanjutnya.</p><p><br /></p><p>Jangan lupa bahwa hidup ini hanya pinjaman yang kelak akan diambil kembali oleh pemiliknya. Jika kita enggan berbuat baik, maka kita hanya akan mengisi pinjaman hidup kita dengan keburukan. </p><p><br /></p><p>Dengan demikian, kita telah menyia-nyiakan nikmat yang telah Allah berikan. Maka, sejatinya kita hanya ingin mencicipi hidup tanpa mau merasakan keabadian kecuali hanya dalam keburukan. </p><p><br /></p><p>Mari sayangi diri kita sendiri. Isilah hari-hari kita dengan perbuatan baik. Jangan lelah dan bosan karena berbuat baik tidak pernah ada batasnya. </p><p><br /></p><p>Jika kita telah melakukan kebaikan hari ini, tingkat kebaikan itu esok hari. Karena sesungguhnya, kualitas kebaikan seseorang tidak pernah ada ujungnya. Teruslah perbaiki kualitas itu.</p><p><br /></p><p>Salah satu cara paling ampuh dalam menjaga dan meningkatkan kualitas perbuatan baik itu adalah dengan senantiasa konsisten dengan amal yang kita perbuat. Konsistensi itu menunjukkan kita sebagai hamba yang istiqamah. Imbalannya, Allah yang Mahaadil pun akan senantiasa konsisten dalam menebarkan rahmat-Nya. </p><p><br /></p><p>Bagi yang belum banyak berbuat baik, tidak ada kata terlambat untuk memulai dan meningkatkan kebaikan. Sangat banyak kesempatan untuk berbuat baik. </p><p><br /></p><p>Tidak ada sedikit pun waktu yang tidak bisa kita isi dengan berbuat baik. Dimulai saat kita terbangun di pagi hari hingga kita bersiap beristirahat panjang di malam hari. Paling tidak, bersyukur atas semua nikmat Allah pun sudah menjadi langkah kecil untuk berbuat baik.</p><p><br /></p><p>Adapun bagi yang saat ini masih bergelimang dosa, salah, dan khilaf, tidak perlu berkecil hati. Masih banyak waktu untuk memperbaiki diri dan berbuat baik. </p><p><br /></p><p>Kapan waktu yang tepat untuk memulai? </p><p><br /></p><p>Sekarang! </p><p><br /></p><p>Jangan pernah tunggu waktu apalagi menunda. Segera hentikan semua perbuatan yang buruk. Gantilah dengan amal yang baik. Tahan diri untuk tidak kembali melakukan maksiat. Kuatkan hati untuk mulai mengerjakan kebaikan; sekecil apapun itu.</p><p><br /></p><p>Tentu, kita akan merasa berat saat mencoba hal yang baru. Terutama jika kita terbiasa terlena dalam semua kenikmatan yang diperoleh dari berbuat maksiat. Akan tetapi, percayalah bahwa tidak ada perjuangan yang diperoleh dengan usaha yang ringan dan selalu menyenangkan. </p><p><br /></p><p>Luruskan niat. Tekad yang bulat, keinginan yang kuat akan menghantarkan kita pada diri yang taat. Pribadi yang mendatangkan maslahat, bermanfaat bagi umat; bukan lantas pribadi yang suka maksiat, mendatangkan azab dan merugikan umat. *** </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-88504411380704410102022-09-27T18:23:00.003+07:002022-09-27T18:23:37.063+07:00Makna Hijrah: Bertobat Sungguh-sungguh dari Maksiat!<p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEielvUu88yZtvCPOS3pMTUwmhLSShAwhmbdvhzu6dJvEV7FstZREC8C0O-nmU4v8VbPCKVwYXYg_M92hxHm8m_UnSbMcYr8o0XSFGsQtGz89WFH4aWQsThXQn6anMn2xPd20wWjI9feGMSImekqLd4Q7JHW6HvZaXa1nJXxTBruZ0ghAG_cN6CsRS_k/s640/ilustrasi-makna-hijrah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="320" data-original-width="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEielvUu88yZtvCPOS3pMTUwmhLSShAwhmbdvhzu6dJvEV7FstZREC8C0O-nmU4v8VbPCKVwYXYg_M92hxHm8m_UnSbMcYr8o0XSFGsQtGz89WFH4aWQsThXQn6anMn2xPd20wWjI9feGMSImekqLd4Q7JHW6HvZaXa1nJXxTBruZ0ghAG_cN6CsRS_k/s16000/ilustrasi-makna-hijrah.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Syaikh Ibn Aththaillah dalam kitab <i>Al-Hikam</i> berujar, <i>“Ketahuilah, dalam maksiat terkandung sikap ingkar janji, memutuskan tali kasih, mengutamakan makhluk tinimbang Allah, ketaatan penuh pada hawa nafsu, tiadanya rasa malu, dan menentang Allah dengan melakukan sesuatu yang dibenci-Nya.”</i></p><p><br /></p><p>Perbuatan maksiat yang sering kita lakukan, tentunya melahirkan dosa dan akan mengotori jiwa. Sebab, ketika kita bermaksiat, Allah dilupakan, dicuekin, dianggap sepele, dan seolah-olah tiada di dunia.</p><p><br /></p><p>Seorang manusia memang kerap lupa dan banyak melakukan kesalahan. Tak heran, di dunia banyak sekali maksiat yang dilakukan, aturan Allah dilanggar, dan akhlak Rasulullah dicampakkan. Kita pun, dengan gagah dan sombong terus-menerus berkubang dengan perbuatan maksiat yang menyisakan kenikmatan sesaat.</p><p><br /></p><p>Sebagai seorang mukmin, sejatinya kita harus kembali mengingat Allah dan aturan-Nya; mengingat kembali bahwa kita diciptakan ke muka bumi ialah hanya untuk beribadah kepada-Nya. </p><p><br /></p><p>Karena itu, ketika kita telah melakukan perbuatan maksiat, ada rasa suci mengalir yang memicu keinginan untuk membersihkan diri dari kemaksiatan. Dan, tobat ialah salah satu sarana yang mampu mengembalikanmu untuk kembali kepada kusucian atau kebersihan diri. </p><p><br /></p><p>Bertobatlah, kawan, seperti yang dilakukan oleh seorang sahabat Rasulullah Saw. dalam kisah di bawah ini, ketika tanpa sengaja di dalam hatinya terbersit niat untuk melakukan kemaksiatan. </p><p><br /></p><p>Seorang pemuda dari kalangan Anshar bernama Tsa’labah Ibn Abdurahman, diutus Nabi Muhammad Saw. untuk menyelesaikan suatu urusan. Di tengah perjalanan, dia melewati sebuah rumah. Tanpa sengaja, dia melihat seorang wanita Anshar yang sedang mandi.</p><p><br /></p><p>Tsa’labah ketakutan dengan dosa ketika melihat seorang wanita tengah mandi, dan turun wahyu kepada nabi menyangkut perbuatannya itu. Maka dia pun kabur. Dia menuju sebuah gunung yang berada di antara Makah dan Madinah, dan terus mendakinya.</p><p><br /></p><p>Selama 40 hari Nabi Saw. kehilangannya.</p><p><br /></p><p>Lalu Jibril as mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu menyampaikan salam buatmu dan berfirman kepadamu,” Sesungguhnya seorang laki-laki dari umatmu berada di gunung ini sedang memohon perlindungan kepada-Ku.”</p><p><br /></p><p>Maka kemudian Nabi Saw. berkata,“Wahai Umar dan Salman! Pergilah cari Tsa’labah Ibn Abdurahman, lalu bawa kemari.”</p><p><br /></p><p>Keduanya pun lalu pergi menyusuri perbukitan Madinah. Dalam pencariannya, mereka bertemu dengan salah seorang penggembala Madinah bernama Dzufafah.</p><p><br /></p><p>Umar bertanya, “Apakah engkau tahu seorang pemuda di antara perbukitan ini?”</p><p><br /></p><p>Pengembala itu menjawab, “Jangan-jangan yang engkau maksud seorang laki-laki yang lari dari neraka Jahannam.”</p><p>“Bagaimana engkau tahu bahwa ia lari dari neraka Jahannam?” tanya Umar.</p><p><br /></p><p>Pengembala menjawab, “Karena apabila malam telah tiba, dia keluar kepada kami dari perbukitan ini dengan meletakkan tangannya di atas kepala sambil berkata, “Kenapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menantikan keputusan!”.</p><p><br /></p><p>“Ya, dialah yang kami maksud.” Ujar Umar. </p><p><br /></p><p>Akhirnya mereka bertiga pergi bersama-sama. Ketika malam menjelang, keluarlah Tsa’labah dari perbukitan itu dengan meletakkan tangannya di atas kepalanya sambil berkata, “Kenapa tidak cabut saja nyawaku dan Engkau binasakan tubuhku, dan tidak membiarkan aku menantikan keputusan!”.</p><p><br /></p><p>Lalu Umar menghampirinya dan mendekapnya.</p><p><br /></p><p>Tsa’labah berkata, “Wahai Umar! Apakah Rasulullah telah mengetahui dosaku?”</p><p><br /></p><p>“Aku tidak tahu, yang jelas kemarin beliau menyebut namamu, lalu mengutus aku dan Salman untuk mencarimu.”</p><p><br /></p><p>Tsa’labah berkata, “Wahai Umar, jangan kau bawa aku menghadap beliau, kecuali ia dalam keadaan shalat.”</p><p><br /></p><p>Ketika mereka menemukan Rasul tengah melakukan Shalat, Umar dan Salman segera mengisi shaf. Tatkala Tsa’labah mendengar bacaan Nabi Saw, ia tersungkur pingsan. Setelah Nabi mengucapkan salam, beliau bersabda, “Wahai Umar! Salman! Apakah yang telah engkau lakukan terhadap Tsa’labah?”</p><p><br /></p><p>Maka Rasulullah berdiri dan menggerak-gerakan Tsa’labah yang membuatnya tersadar. Rasul Saw berkata kepadanya, “Mengapa engkau menghilang dariku?”</p><p>Tsa’labah menjawab, “Dosaku, ya Rasulullah!”</p><p><br /></p><p>Beliau mengatakan, “Bukankah telah kuajarkan kepadamu suatu ayat yang dapat menghapus dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan?”</p><p><br /></p><p>“Benar, wahai Rasulullah!”</p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw bersabda, “Katakan ya Tuhan kami, berikanlah kami sebagian di dunia dan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa api neraka.”</p><p><br /></p><p>Tsa’labah berkata, “Dosaku wahai Rasulullah sangat besar.”</p><p><br /></p><p>Beliau bersabda, “Akan tetapi kalamullah lebih besar.”</p><p><br /></p><p>Kemudian Rasul menyuruh Tsa’labah agar pulang ke rumahnya. Di rumahnya ia pun jatuh sakit selama delapan hari.</p><p><br /></p><p>Mendengar Tsa’labah sakit, Salman pun datang menghadap Rasulullah dan berkata “Wahai Rasulullah, masihkah engkau mengingat Tsa’labah? Dia sekarang sedang sakit keras.”</p><p><br /></p><p>Singkat kata, Rasulullah datang menemuinya dan meletakkan Tsa’labah di pangkuannya. Akan tetapi Tsa’labah menyingkirkan kepalanya dari pangkuan beliau.</p><p><br /></p><p>“Mengapa engkau singkirkan kepalamu dari pangkuanku?” tanya Rasulullah.</p><p><br /></p><p>“Karena penuh dengan dosa, “jawabnya.</p><p><br /></p><p>Beliau bertanya lagi, “Bagaimana yang engkau rasakan?”</p><p><br /></p><p>“Seperti dikerubuti semut pada tulang, daging dan kulitku,” jawab Tsa’labah.</p><p><br /></p><p>Beliau bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”</p><p><br /></p><p>“Ampunan Tuhanku, “ Jawabnya.</p><p><br /></p><p>Maka turunlah Jibril dan berkata, “Wahai Muhammad. Sesungguhnya Tuhanmu mengucapkan salam kepadaku, dan berfirman kepadamu, “Kalau saja hamba-Ku ini menemui aku dengan membawa sepenuh bumi kesalahan, niscaya Aku akan ampuni dia dengan ampunan sepenuh itu pula.”</p><p><br /></p><p>Maka segera Rasulullah memberitahukan hal itu kepadanya. Begitu mendengar berita itu, terpekiklah Tsa’labah dan langsung ia meninggal dunia.</p><p>Lalu Rasulullah memerintahkan agar Tsa’labah segera dimandikan dan dikafani. Ketika selesai dishalatkan, Rasul berjalan sambil berjingkat-jingkat. </p><p><br /></p><p>Setelah selesai pemakamannya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasul, kami melihat engkau berjalan ambil berjingkat-jingkat.”</p><p><br /></p><p>Beliau bersabda, “Demi Zat yang telah mengutus aku sebagai seorang nabi yang sebenarnya, aku berbuat seperti itu karena banyaknya malaikat yang menziarahi Tsa’labah.”</p><p><br /></p><p>Kisah Tsa’labah tadi memberikan pelajaran berharga bagi kita. Betapa sosok pemuda yang di dalam hatinya dipenuhi keimanan akan merasa bersalah dan berdosa ketika dia mendapatkan kesempatan untuk berbuat maksiat. </p><p><br /></p><p>Seorang mukmin, dirinya takut akan terjatuh ke dalam lembah maksiat dan dosa. Dia tak bisa membayangkan bagaimana nasibnya di akhirat kelak, bila sebuah kesalahan yang terjadi karena kelalaiannya itu mendapat murka Allah.</p><p><br /></p><p>Tsa’labah ialah generasi muda yang hatinya dipenuhi keimanan sehingga dia merasa ketakutan akan apa yang telah diperbuatnya. Dia merasa malu bila kesalahannya diketahui nabi dan mendapatkan teguran Allah lewat wahyu. </p><p><br /></p><p>Sikapnya merupakan contoh yang baik untuk kita teladani dalam menjalani kehidupan yang serba individualis, modern, dan bebas tanpa aturan saat ini. </p><p><br /></p><p>Kadang menilai buruk perbuatan orang lain lebih mudah kita lakukan. Sebab, sebagai manusia, kita seringkali tidak terbiasa mengoreksi diri sendiri secara objektif. </p><p><br /></p><p>Kita lebih lihai mencari kelemahan dan kesalahan orang lain dibandingkan melakukan muhasabah atas diri sendiri seperti dikatakan pepatah lama, “Semut di sebrang lautan mudah kelihatan, tetapi Gajah di pelupuk mata tak kelihatan.”</p><p><br /></p><p>Setiap perbuatan maksiat bisa mengotorimu dengan noda dan dosa. Ketika kita nggak bertobat, maka dosa tersebut akan menumpuk sehingga sangat sulit dibersihkan. Alhasil, kita akan dimasukkan sebagai seorang manusia yang mendapatkan murka Allah di akhirat nanti.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-60544122511606173982022-08-30T12:24:00.004+07:002022-08-30T12:24:21.438+07:00Dear Allah, Maafkan Aku yang Dulu<p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhooYM1z60W-AxggehHRFOYjiFWKqOeKCOX9dYz3yXz9mz3YaL3pvJU3FFu4mLM97kya7MXKaGp5pRYmC9diUETgMDSC1MNMK1cTJp09gp5Yk5vHHeRcSU3EsqbDVZN6cfwILuKUyux_fwhceER3jciEwAOtDmKlfBI8vN5Xlk-dsNJ38W8qcjNR1dp/s612/as-saah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="344" data-original-width="612" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhooYM1z60W-AxggehHRFOYjiFWKqOeKCOX9dYz3yXz9mz3YaL3pvJU3FFu4mLM97kya7MXKaGp5pRYmC9diUETgMDSC1MNMK1cTJp09gp5Yk5vHHeRcSU3EsqbDVZN6cfwILuKUyux_fwhceER3jciEwAOtDmKlfBI8vN5Xlk-dsNJ38W8qcjNR1dp/s16000/as-saah.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />“Waktu, paling berharga untuk kujaga. Dan, kulihat begitu mudah untuk hilang.” (Hasan Al-Bashri).</p><p><br /></p><p>Ketika kita mengaku beriman kepada Allah, sebetulnya kita telah mengikat janji, menetapkan prinsip, dan memantapkan pilihan untuk terus menerus mengabdi kepada-Nya. Sebagai seorang hamba, kita wajib tunduk dan patuh terhadap segala ketetapan Allah dan Rasul-Nya. </p><p><br /></p><p>Kita tidak boleh mengingkari ketetapan yang diberikan Allah. Sekali saja kita berbuat ingkar, berarti kita telah durhaka karena melanggar janji dengan Allah. </p><p><br /></p><p>Kedurhakaan kepada Allah merupakan tindakan yang sesat dan menyesatkan! Dan, bentuk kedurhakaan yang paling nyata adalah tidak mentaati ketetapan dan aturan dari Allah! </p><p><br /></p><p>Maka, sebaiknya berhati-hatilah dalam bertindak. Kenali selalu rambu-rambu kehidupan yang telah Allah berikan. </p><p><br /></p><p>Hindari beberapa perilaku keseharian kita seperti berikut ini... </p><p><br /></p><p><b><i>Hati yang lebih banyak mengurus anugerah Allah ketimbang mengingat Sang Maha Pemberi Anugerah itu sendiri, yakni Allah Swt. Saat kita menerima anugerah hidup, lantas mengisinya dengan menggunakan media sosial: Facebookan, Twitteran, Instgaraman, bahkan ngedubbing video klip; ingatlah kepada Sang Maha Pemberi Anugerah. Manfaatkan média sosial sebagai sarana untuk saling mengenal, menambah ilmu dan memperluas wawasan.</i></b></p><p><b><i><br /></i></b></p><p><b><i>Hati yang sunyi dari zikir, hampa dari hikmah, dan kosong dari permenungan tentang kehadiran Allah dalam kehidupan. Sungguh celaka jika tiba-tiba umur kita berakhir di saat sedang update status dengan konten yang sia-sia. Sehingga, misalnya, ketika di akhirat kelak Malaikat Munkar-Nakir bertanya, “Man Rabbuka?” kita malah menjawab dengan ketakutan dan gelagapan, “Facebook!”. </i></b></p><p><b><i><br /></i></b></p><p><b><i>Ingatan yang lupa bahwa Allah membuat peraturan hidup hanya untuk kita taati. Peraturan Allah adalah ketetapan yang tidak bisa ditawar-tawar: harus dilaksanakan dan tidak boléh dilanggar. Karena itu, saat kita asyik-masyuk memainkan keyboard meng-update status, jangan pernah menunda-nunda kewajiban sebagai seorang hamba. Jagalah ibadah shalat saat tiba waktunya. Ingatlah bahwa waktu terus berputar dan tak akan pernah kembali. </i></b></p><p><br /></p><p>Sungguh kita sudah sedemikian durhaka kepada Allah. </p><p><br /></p><p>Seringkali aturan dan ketetapan-Nya dikalahkan hanya oleh media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Dubmash, dll. </p><p><br /></p><p>Eksistensi Allah, seolah kita lupakan karena lebih tertarik oleh téknologi bikinan manusia. Kita terlalu asyik bercengkrama dengan smartphone, dan tidak tahu bahwa di balik kenikmatan menggunakan aplikasi Android ada kenikmatan yang telah Allah berikan kepada kita. </p><p><br /></p><p>Coba saksikan, perilaku kawan-kawan yang pertama kali ditanyakan saat hendak mengunjungi kosan temannya: “Gimana kosannya, enak, asri, dan ada colokannya buat smartphone?” </p><p><br /></p><p>Sungguh sangat jarang anak muda masa kini yang bertanya: “Gimana kosannya, menyediakan mushala untuk shalat nggak?” </p><p><br /></p><p>Sungguh, kita telah durhaka kepada Allah karena telah melupakan Allah. Padahal, sesungguhnya, salah satu tujuan Allah menciptakan kita di muka bumi adalah agar kita mengenal Zat Allah, mentaati titah-Nya dengan mempraktikkan titah itu dalam wujud konsisten melaksanakan ibadah. </p><p><br /></p><p>Tetapi, kita telah banyak mengabaikan, melupakan, dan melalaikan apa yang telah digariskan oleh Allah dalam ketetapan dan peraturan-Nya. </p><p><br /></p><p>Sering kita, di saat sedang dalam kelapangan, kesuksesan, dan hidup diliputi kesehatan, menganggap bahwa semua merupakan hasil kerja keras sendiri, hasil usaha sendiri, dan hasil segala pengerahan daya pribadi. </p><p><br /></p><p>Sebaliknya, di saat hidup kita sedemikian terpuruk, gagal, dan sakit-sakitan; kita malah menyalahkan Tuhan Maha Pemurah, Allah Swt. </p><p>Jika Allah yang telah menciptakan kita masih sempat kita kesampingkan; lantas bagaimana dengan orang-orang yang hidup di sekitar kita?</p><p><br /></p><p>Tulisan ini hadir sebagai jam weker yang mengingatkan kesalahan kita pada Allah, sehingga dengan mengingatnya akan memunculkan keinginan untuk bertobat. Buku ini berisi tentang bagaimana memanfaatkan hidup sebaik mungkin, yang dulu kita lupakan karena keasyikan menikmati anugrah hidup. Dengan menelaahnya, kita bisa menyadari untuk selalu memanfaatkan hidup yang diberikan Allah. </p><p><br /></p><p>Ingatlah, bahwa sesungguhnya bagi manusia yang tidak peduli akan aturan saat berinteraksi dengan sesama manusia; berarti kedurhakaan kepada Allah dari setiap apa yang dilakukannya. </p><p><br /></p><p>Maka, segeralah... </p><p><br /></p><p><b><i>1. Beristighfar dengan kesungguhan hati. Lakukan setiap detik dari kehidupan kita. Sebab dengan beristighfar saat menjalankan ibadah, berarti hati kita kembali mengakui kehadiran Allah. </i></b></p><p><b><i><br /></i></b></p><p><b><i>2. Tafakur atas setiap karunia Allah yang bisa saja sesekali kita melupakannya, misalnya karena kita terlalu sibuk mengejar kepentingan pribadi nan duniawi. </i></b></p><p><b><i><br /></i></b></p><p><b><i>3. Bersyukur sepanjang hayat. Ibadah dan ikhtiar adalah anugerah dari Allah. Pertolongan dan perlindungan-Nya senentiasa mengalir bagi makhluk yang disayangi-Nya. </i></b></p><p><br /></p><p>Jika sekali saja kita mengingkari kehadiran Allah, maka tunggulah kehancuran bagi masa depan hidup kita di akhirat. Selalu mengesampingkan ketetapan dan aturan Allah merupakan salah satu sifat yang paling dibenci-Nya. Karena itu berarti di dalam hatinya ada percik kesombongan. </p><p><br /></p><p>Kalau saja Tuhan yang Maha Pencipta sudah dikesampingkan dan tidak dituruti perintah-Nya, lantas bagaimana kelakuan kita ketika berinteraksi dengan kawan, kerabat, tetangga, dan sesama manusia lain? </p><p><br /></p><p>Pastinya, kita akan menjadi orang sombong yang menganggap sepele seluruh perintah Allah. Selain itu, percikan kesombongan juga akan menggiring kita pada perilaku selalu menganggap kerdil orang lain. </p><p><br /></p><p>“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS Luqman [31]: 18).</p><p><br /></p><p>Karena itu, ketika kita mengabaikan Allah, kita akan tergolong sebagai manusia yang sombong, angkuh, dan takabur. Dengan kesombongan inilah segala aturan, ketetapan, dan ketentuan Allah akan dilanggar dan diabaikan.</p><p><br /></p><p>Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Saw., bersabda, “Tidak akan masuk surga, seseorang yang di dalam hatinya ada sebijih atom dari sifat sombong. Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Indah dan menyukai keindahan. Sifat sombong adalah mengabaikan kebenaran dan memandang rendah manusia yang lain,” (HR. Muslim). </p><p><br /></p><p>Sering orang menjadi sombong karena kekuasaan atau jabatan. Orang-orang yang seperti itu lupa bahwa jabatan tidak bersifat kekal. Ketika mati, misalnya, kekuasaan, harta, dan jabatan pun pasti raib. </p><p><br /></p><p>Sebagai cermin kehidupan, berikut adalah nama-nama orang tersombong di dunia:</p><p><br /></p><p><i><b>Firaun si raja Mesir, sombongnya tidak kepalang, sampai mengaku bahwa dirinya Tuhan. Tapi, saat menjadi mayat, ia tidak berdaya. </b></i></p><p><i><b><br /></b></i></p><p><i><b>Alexander the Great atau Iskandar Agung, angkuh karena kerajaannya meliputi sebagian Afrika, Eropa, dan Asia. Tapi, di kemudian hari keangkuhannya itu membawa keruntuhan seluruh kekuasaannya. Kini, ia tinggal tulang-belulang belaka. </b></i></p><p><i><b><br /></b></i></p><p><i><b>Hitler, yang dulu sangat ditakuti, pengaruhnya musnah dimakan zaman. </b></i></p><p><br /></p><p>Hanya Allah Maha Perkasa yang tetap kekal dan hidup abadi selama-lamanya!</p><p><br /></p><p>Lalu, apa yang membuat manusia pantas merasa sombong?</p><p><br /></p><p>Waspadalah, penyebab tumbuhnya benih sombong di dalam ladang hati sungguh begitu dekat. Kesombongan bila lahir dari paras wajah yang cantik/ganteng dan rupawan. Padahal, seiring usia menua, wajah akan berubah berbungkus keriput.</p><p><br /></p><p>Imam Ghazali dalam kitab Ihya Uluumuddiin menulis bagaimana mungkin manusia bisa bersifat sombong sementara dalam dirinya terdapat 1-2 kilogram kotoran yang bau?</p><p><br /></p><p>Pantaskah kita bersikap sombong?</p><p><br /></p><p>Renungkanlah ungkapan “di atas langit, masih ada langit”! Ingat, sehebat-hebatnya manusia, masih ada lagi yang lebih hebat di luar sana. </p><p><br /></p><p>Nah, kita bisa mengoptimalkan diri untuk dijadikan bahan perbaikan diri ke arah yang lebih baik. Meminta maaf atas salah dan dosa kepada Allah ialah kunci diperolehnya kebahagiaan. </p><p><br /></p><p>Jangan lantas, ketika kita sedang sehat, melupakan Allah, bahwa kesehatan itu dianugrahkan oleh-Nya. Jangan pula, ketika kita masih muda, membutakan diri dari penglihatan suci, bahwa kesehatan itu diberikan Allah. </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-6604735550807149902022-08-30T11:57:00.001+07:002022-08-30T11:57:24.415+07:0010 Perkara Dosa yang Harus Dijauhi Muslim<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfhqHUc30z6z2u7VWzv6RiBx_ATV_C7hoNZbUWaessvjIxbMF2hSC0YgQXa2ZJTRGSRH9l6Qxmu200EC6o9ipX9_kHl1fqoWj97u9MIo665VaMKH0MIU3J_R_9mH--OyirODbs-DHFYMjUmc5wr_F6GQb6xAbaCg9eQglXROazPXY6_HzwWArUeZjY/s275/dosa.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="183" data-original-width="275" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgfhqHUc30z6z2u7VWzv6RiBx_ATV_C7hoNZbUWaessvjIxbMF2hSC0YgQXa2ZJTRGSRH9l6Qxmu200EC6o9ipX9_kHl1fqoWj97u9MIo665VaMKH0MIU3J_R_9mH--OyirODbs-DHFYMjUmc5wr_F6GQb6xAbaCg9eQglXROazPXY6_HzwWArUeZjY/s16000/dosa.jpeg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Agar kita tahu maksiat seperti apa yang akan mendapatkan dosa bagi si pelakunya, kami sertakan 10 perbuatan dosa yang harus dijauhi. <p></p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">1. Ramalan</h3><p><br /></p><p>Kita tidak boleh meramal nasib. Dalam khazanah Islam, ada yang disebut “Thiyarah”, yakni merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja. </p><p><br /></p><p>Hal inilah yang tidak dibolehkan dalam Islam karena merasa pesimis atau bernasib sial termasuk salah satu perbuatan dosa. </p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">2. Bergaul Bebas</h3><p><br /></p><p>Bergaul dianjurkan dalam Islam, tetapi ketika pergaulan itu mendekatkan seseorang kepada perbuatan maksiat, seperti perzinaan, maka hal itu sangat dilarang. Sebab, tujuan syariat adalah menjaga kehormatan dan keturunan. </p><p><br /></p><p>Pergaulan bebas bagaikan pintu awal melakukan zina, karena itu Islam mewajibkan seorang muslimah untuk mengenakan hijab, menundukkan pandangan, dan melarang khalwat (berduaan di tempat yang sepi) dengan lawan jenis yang bukan mahramnya. </p><p><br /></p><p>“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu sesuatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’ [17]: 32).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">3. LGBT </h3><p><br /></p><p>Kemaksiatan dan kemungkaran perilaku lainnya yang berdosa ialah tradisi kaum Nabi Luth as, yakni mencintai sesama jenis dan melakukan pergaulan intim seperti Lesbian dan gay (baca: homoseksual).</p><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya :” Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seseorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan?" (QS. Al-Ankabut [29]: 28-29).</p><p><br /></p><p>Karena keji, buruk dan amat berbahayanya kemungkaran tersebut, sehingga Allah menghukum pelaku homoseksual dengan empat macam siksaan sekaligus. Suatu bentuk siksa yang belum pernah ditimpakan kepada kaum lain. </p><p><br /></p><p>Keempat siksaan tersebut adalah: kebutaan, menjungkirbalikkan mereka, menghujani mereka dengan batu-batu kerikil dari neraka serta mengirim kepada mereka halilintar.</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">4. Khlawat</h3><p> </p><p>Berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram sangat dilarang oleh Islam, karena syetan akan menebarkan fitnah dan menjerumuskan manusia kepada perbuatan maksiat. </p><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman: “Hai orang –orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Berangsiapa mengikuti langkah-langkah syaitan maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan mungkar.” (QS. An-Nur [24]: 21).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">5. Mabuk-Mabukan</h3><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya (minuman) arak, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbutan keji termasuk perbuatan syaitan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]:90).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">6. Sumpah Palsu</h3><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman, “Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. Al-Hajj [22]: 30-31).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">7. Ghibah</h3><p><br /></p><p>Ketika kita bergaul di lingkungan, harus selalu berusaha menghindari praktik ghibah, yakni membicarakan orang lain, bergosip, dan menebarkan fitnah. </p><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentulah kamu merasa jijik dengannya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12). </p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">8. Namimah</h3><p><br /></p><p>Jangan melakukan perbuatan mengadu domba (fitnah) antar satu teman dengan teman yang lain karena hal ini akan merusak ikatan persahabatan dan menyulut api kebencian.</p><p><br /></p><p>Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina yang banyak mencela, yang kian kemari mengumbar fitnah." (QS. Al-Qalam [68]: 10-11).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">9. Alay</h3><p> </p><p>Laki-laki dan perempuan harus menjaga sifatnya masing-masing karena hal itu ialah menjaga fitrah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Kita jangan menyerupai sifat lawan jenis kita, baik wanita yang menyerupai laki-laki atau sebaliknya; laki-laki menyerupai wanita. </p><p><br /></p><p>Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah Saw. melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari).</p><p><br /></p><h3 style="text-align: left;">10. Bermusuhan </h3><p><br /></p><p>Kita jangan senang bermusuhan atau memusuhi sahabat, kerabat, dan tetangga karena hal itu merupakan cara syetan untuk menjerumuskan kita pada perbuatan maksiat. Dengan permusuhan terjadi perkelahian, pembunuhan, dan peperangan. </p><p><br /></p><p>Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw. Bersabda, “Tidak halal seorang muslim memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka.” (HR. Abu Dawud).</p><p> </p><p>Kawan…, sebetulnya, dosa dan maksiat itu banyak sekali; tetapi saya hanya mengetengahkan sepuluh saja. </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-26968048061847921742022-07-23T18:39:00.001+07:002022-07-23T18:39:21.888+07:00Inilah Penjelasan Hadits Diam adalah Emas<p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWIJYIkU5K_g-jPeZ-uRn-KitkRPkMUoh6tRZisA8EKQwdSG27a8N_5kC_Z2kWK-HcX0YwlUqeM1nBk-PWAM4DBmROu2BdbKI7qsDmg4W92sT6SpEEciDEE6ucbdm17hNtYYes14Ao0ZCYfNS120Vb6X8hXp4O2jnDkOo3fnK5Vz516RxpMHo_7A0m/s830/diam-adalah-emas.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="622" data-original-width="830" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjWIJYIkU5K_g-jPeZ-uRn-KitkRPkMUoh6tRZisA8EKQwdSG27a8N_5kC_Z2kWK-HcX0YwlUqeM1nBk-PWAM4DBmROu2BdbKI7qsDmg4W92sT6SpEEciDEE6ucbdm17hNtYYes14Ao0ZCYfNS120Vb6X8hXp4O2jnDkOo3fnK5Vz516RxpMHo_7A0m/s16000/diam-adalah-emas.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Memang lidah tak bertulang... ungkapan yang sering kita dengar adalah benar. Lidah atau lisan bagaikan pedang, bisa sebagai pertahanan ataupun mencelakakan. </p><p><br /></p><p>Sebab lidah tak bertulang, bertutur kata menjadi gampang, membuat pendengar jiwanya terjengkang hatinya pun gamang..aah, sungguh menjaganya memang susah-susah gampang!</p><p><br /></p><p>Bila kita tak mampu berbicara kebaikan, maka diamlah! Sebab Diam itu emas.</p><p><br /></p><p>Diam itu emas adalah bila menyangkut keburukan yang tiada manfaatnya. Dan hanya berbicara jika yang dibicarakan mengandung kebaikan ataupun manfaat di dalamnya. </p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw pernah bepergian bersama Mu’adz bin Jabal. Dalam perjalanannya, bertanya kepada Rasulullah Saw,</p><p><br /></p><p>“Ya, Rasulullah. Amalan apakah yang paling utama?”</p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw menjawabnya dengan memberikan isyarat menunjuk ke bibirnya, “Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.” (Seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit)</p><p><br /></p><p>Sikap diam demi menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat membuat kita berusaha menghindari godaan syetan. Yes! kita telah sukses mengalahkan syetan. Selain itu, diam juga sebagai bentuk kebijaksanaan. </p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw bersabda, “Diam (tidak berbicara) adalah suatu kebijaksanaan dan sedikit orang yang melakukannya.” [HR. Ibnu Hibban]</p><p><br /></p><p>Diam adalah perhiasan orang yang berilmu dan kamuflase orang yang bodoh. Kepandaian menjaga lisan bisa membedakan antara orang bodoh dan orang cerdas. </p><p><br /></p><p>Sikap diam memiliki banyak hikmah didalamnya. Namun sayang, Seringkali lisan kita “merasa gatal” untuk berbicara kepada orang lain hal-hal yang remeh, belum tentu kebenarannya dan tidak mengandung kebaikan atau manfaat. Astaghfirullahal ‘adziim..! </p><p><br /></p><p>Zaman dahulu kala, salah seorang penguasa meminta kepada pelayannya untuk dibelikan yang terbaik dari bagian tubuh hewan ternak untuk dihidangkan kepada para tamunya saat makan siang nanti. Sang pelayan yang terkenal akan kepintaran dan kebijaksanaannya, membelikan tuannya lisan (lidah).</p><p><br /></p><p>Tak lama kemudian, penguasa tersebut bertanya kepada pelayannya, apa yang menyebabkannya berbuat demikian. </p><p><br /></p><p>Pelayan itu pun berkata, “Karena lisan adalah kunci kebijaksanaan dan kunci ilmu.”</p><p><br /></p><p>Tuannya pun berkata, “Jika memang demikian, aku ingin kamu membelikanku lagi, sesuatu yang paling buruk dan paling kotor dari bagian tubuh hewan ternak.”</p><p><br /></p><p>Maka pelayan itu tetap membelikan lisan (lidah) juga. </p><p><br /></p><p>Tuannya merasa heran dan menyangka pelayannya itu menghina dirinya. Kemudian ia kembali bertanya kepada pelayannya atas perbuatan yang dilakukannya.</p><p><br /></p><p>Pelayannya berkata, “Karena lisan adalah sumber kerusakan dan sumber keburukan. Sebab kedengkian dan sebab peperangan yang terjadi diantara kerajaan-kerajaan.”</p><p><br /></p><p>Yups, lisan bisa mengantarkan kita kepada kebaikan ataupun keburukan tergantung bagaimana kita mempergunakannya. Abdullah bin ‘Amr ra berkata, “Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang diam niscaya ia selamat.” [HR. Tirmidzi]</p><p><br /></p><p>• Diam adalah identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang. Berdiam dari perkataan yang buruk adalah sebuah kebaikan dan keutamaan. Dalam diam terdapat harga diri/ wibawa kita.</p><p><br /></p><p>“Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilainya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat.” (Wasiat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar)</p><p><br /></p><p>Maka menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia.</p><p><br /></p><p>Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau hendaklah ia diam.” [HR. Bukhari]</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-57613442793344276142022-07-21T13:15:00.000+07:002022-07-21T13:15:04.643+07:00Muslim Itu Harus Sehat! Ini Alasannya<p><b><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZA-MBE3wkQ4U_Mc8Wgw7Y-p8NHRJHJLTe-aBrVEaFBkR4YsZoptuL19LazT5V7dt4M2v-X4mPOIHJJL7qKCnkPaqAbocsZ4QGWXaFMrVTll0E2CauPVQYR09xqqCY_U3jF1Kxx3jz5md7SHDGLegV-BkxOX8XAr1dp2RgvRWGGpkEpZrcxKlRd469/s600/muslim-sehat.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="350" data-original-width="600" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZA-MBE3wkQ4U_Mc8Wgw7Y-p8NHRJHJLTe-aBrVEaFBkR4YsZoptuL19LazT5V7dt4M2v-X4mPOIHJJL7qKCnkPaqAbocsZ4QGWXaFMrVTll0E2CauPVQYR09xqqCY_U3jF1Kxx3jz5md7SHDGLegV-BkxOX8XAr1dp2RgvRWGGpkEpZrcxKlRd469/s16000/muslim-sehat.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />NASIHATKU.MY.ID</b> - Kenikmatan besar setelah keimanan adalah hidup sehat. Kesehatan merupakan modal penting bagi kita melebihi harta benda. </p><p><br /></p><p>Dari lima potensi hidup yang penting diperhatikan sebagai modal kehidupan kita; selain waktu lapang, usia muda dan kekayaan, kesehatan adalah potensi penting yang harus dimanfaatkan sebelum kita mengalami sakit. </p><p><br /></p><p>Seorang muslim harus selalu prima, sehat, dan kuat karena tugas sebagai seorang isteri itu sangat berat dan membutuhkan kesehatan tubuh. Dengan kesehatan inilah, kita akan lebih khusyuk dalam beribadah dan bersyukur kepada Allah. </p><p><br /></p><p>“Barang siapa sehat badannya, damai hatinya dan memiliki makanan untuk sehari-harinya, seolah-olah dunia seisinya dianugerahkan kepadanya.” (HR. Tirmidzi dan Ibn Majah).</p><p><br /></p><p>Lantas, sebagai seorang muslim; kenapa kita harus sehat?</p><p><br /></p><p>1. Sehat adalah nikmat dari Allah, karena itu, menjalani hidup sehat berarti bersyukur atas kenikmatan-Nya.</p><p><br /></p><p>2. Sebagai kenikmatan, sehat itu karunia yang akan dipertanggungjawabkan. Karena sehat ini modal untuk beraktifitas selama hidup.</p><p><br /></p><p>3. Badan yang sehat sangat mendukung kekuatan jiwa dan pikiran. Dengan badan sehat maka daya konsentrasi mengurus keluarga dan anak pun akan maksimal.</p><p><br /></p><p>4. Kesempurnaan ibadah akan tercipta. Sebab, badan yang sehat merupakan pendukung kesempurnaan pelaksanaan ibadah. Untuk sempurna rukuk dan sujud dalam shalat, misalnya, dibutuhkan badan yang sehat. Apalagi jika melaksanakan ibadah haji, sangat membutuhkan kesehatan yang prima.</p><p><br /></p><p>5. Penampilan cantik dan fresh. Dengan badan yang sehat maka kecantikan kita akan terpancar sehingga wajah pun terlihat fresh. Sebaliknya kalau sakit muka kita pun akan tampak lesu dan kurang semangat. </p><p><br /></p><p>Karena itu, sebagai seorang hamba yang bersyukur, kita harus menjaga kesehatan tubuh sebagai wujud syukur kita kepada Allah. Wahai muslimah, ingatlah terus dengan hadits ini: “Ada dua kenikmatan yang memperdaya banyak manusia, adalah sehat dan waktu luang.” (HR. Bukhari).</p><p><br /></p><p>Kesempurnaan kegiatan membutuhkan badan sehat. Begitu pun untuk menjalani ibadah seperti berhaji faktor kesehatan menjadi syarat pokok yang dibutuhkan.</p><p><br /></p><p>Dengan ketidaksehatan tubuh, banyak aktivitas ibadah yang terganggu; sehingga sebagai seorang muslimah, kita harus bisa menjaga agar tubuh tetap fit dan sehat. Kendati sakit itu datangnya dari Allah, tetapi tidak ada salahnya kalau kita menjaga agar tubuh tetap sehat. </p><p><br /></p><p>Mahatma Ghandi berpesan, “Kesehatan itu kekayaan nyata yang lebih berharga daripada potongan emas dan perak.” </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-35448203633064310712022-06-21T14:56:00.000+07:002022-06-21T14:56:10.847+07:00Cintai Al-Quran Sepenuh Jiwa Mulai Hari Ini<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivOkg79qhJcdME7jxX6jGNttgOyo0Q-TzGUTGs7S96Q0uExDU_NyerXNpyKDaopQ3VELl4WyOOxswnQe8C4Xf9z160_H5kpSZaB7xC70PHEqxoUQWHKYcW6QsaP01UIa6HiOXHvraQc81sFFS4Z9gnQ41IeKGPp8PSpHwOKF6QJ3MsikceOMelI7O0/s276/al-quran.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="183" data-original-width="276" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivOkg79qhJcdME7jxX6jGNttgOyo0Q-TzGUTGs7S96Q0uExDU_NyerXNpyKDaopQ3VELl4WyOOxswnQe8C4Xf9z160_H5kpSZaB7xC70PHEqxoUQWHKYcW6QsaP01UIa6HiOXHvraQc81sFFS4Z9gnQ41IeKGPp8PSpHwOKF6QJ3MsikceOMelI7O0/s16000/al-quran.jpeg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Sebagai manusia modern, tiada hari yang dapat kita lewati tanpa berita dan teknologi. Kebutuhan kita terhadap informasi seumpama kebutuhan kita akan makan. Seringkali kita cepat merespons, ketika sms masuk atau telepon berdering. <p></p><p><br /></p><p>Kita juga jarang sekali mengabaikan berita-berita dari peranti online, umpamanya dalam sosmed seperti facebook, twitter atau blog dan situs-situs informasi lainnya. </p><p><br /></p><p>Coba bandingkan dengan Al-Quran, akankah sama? Sungguh pertanyaan yang menghentak nurani!</p><p><br /></p><p>Al-Quran adalah kalamullah, berisi petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang lurus. Berbeda dengan berita yang hampir setiap hari kita baca, terkandung kebenaran dan juga kesesatan. Al-Quran adalah mukjizat dari Allah untuk Rasulullah Saw., sekaligus bukti kebesaran Allah. </p><p><br /></p><p>Al-Quran bukanlah kitab biasa, tetapi memiliki keistimewaan. Banyak bersinggungan dengan Al-Quran berarti kita terus mengingat Allah. Mengingat-Nya tentu saja akan membuat hati kita menjadi tentram.</p><p><br /></p><p>Allah adalah zat yang paling maha kuasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya. Karena itu, tidaklah ada alasan untuk khawatir bagi sesiapa yang selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada-Nya. </p><p><br /></p><p>Untuk menghapus rasa was-was hamba-Nya, Allah turunkan Al-Quran sebagai petunjuk. Tentu, petunjuk yang bukan sembarang petunjuk, karena Al-Quran menunjukkan manusia melalui dua arah: kisah ghaib di masa lalu dan prediksi akan masa depan. </p><p><br /></p><p>Al-Quran juga berisikan ajaran tauhid dan hukum-hukum, ilmu pengetahuan, kisah-kisah yang menggugah, teguran, larangan, perintah, kabar baik, dan juga kabar buruk. Dengan demikian, tidak ada solusi paling ideal bagi setiap masalah hidup dan obat bagi setiap penyakit hati selain Al-Quran. Al-Quran juga akan menuntun kita pada jalan yang benar.</p><p><br /></p><p>“Sungguh, Al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus,” (QS Al-Isra’ [17]: 9)</p><p><br /></p><p>Ya, jalan yang benar adalah jalan yang lurus. Yaitu jalan yang membawa kita pada ketenangan, kedamaian serta keberkahan hidup. Salah satunya adalah kehidupan dalam bentuk kesuksesan dan kebahagiaan dunia yang diraih dengan jalan yang baik, benar, dan halal. </p><p><br /></p><p>Lalu, bagaimanakah cara kita memperoleh jalan yang lurus itu? </p><p><br /></p><p># Menanamkan keimanan yang kuat dalam hati kita bahwa Al-Quran menyempurnakan kitab-kitab suci terdahulu;</p><p># Memaksa diri untuk membiasakan membaca, menghafal, menghayati dan memahami Al-Quran serta mengamalkan isi kandungannya;</p><p># Menjadikan Al-Quran sebagai kebutuhan dalam hidup;</p><p># Merasakan kenikmatan saat berinteraksii dengan Al-Quran.</p><p><br /></p><p>Selebihnya, mari teladani para sahabat nabi yang membuktikan keislamannya dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya melalui Al-Quran. Di antaranya adalah:</p><p><br /></p><p>Yahya bin Watsab. Beliau adalah orang yang bacaan ayat-ayat Al-Quran-nya paling indah. Ketika sedang membaca Al-Quran, beliau tidak melakukan satu gerakan apapun di masjid, seolah-olah di masjid itu sedang tidak ada orang, karena saking khusyuknya mendengarkan. Karena itulah al-A’masy ingin mengecup dahinya sebagai tanda penghormatan karena saking bagus bacaannya;</p><p><br /></p><p>Urwah bin Zubair. Setiap hari dan dalam shalat malamnya, beliau selalu membaca seperempat Al-Quran, dan tidak pernah meninggalkan kebiasaannya kecuali pada saat kakinya dipotong;</p><p><br /></p><p>Al-Aswad. Beliau menghatamkan Al-Quran pada bulan Ramadhan setiap dua malam dan di luar Ramadhan setiap enam hari;</p><p><br /></p><p>Abu Bakar ‘Ayyasy. Ketika beliau menghadapi sakratul maut, saudarinya menangis. Beliau berkata, “Wahai saudariku, lihatlah ke pojok itu. Sesungguhnya saudaramu telah menghatamkan Al-Quran sebanyak 18 ribu kali di sana”;</p><p><br /></p><p>Abu Ja’far al-Qori’. Saat jenazahnya dimandikan, orang-orang melihat di antara tenggorokan dan hatinya terdapat seperti lembaran Al-Quran. Semua yang hadir menyaksikan dan mempercayai bahawa itu adalah cahaya Al-Quran.</p><p><br /></p><p>Dari cerita-cerita singkat tentang para sahabat nabi yang tinggi kecintaannya terhadap Al-Quran, kita dapat menyimpulkan bahwa sesiapa yang memiliki kecintaan terhadap Al-Quran maka ia juga akan mendapatkan kecintaan dari penduduk langit. </p><p><br /></p><p>Tidak percaya? Mari kita simak sebuah kisah berikut: </p><p><br /></p><p>Adalah salah seorang bangsawan, sahabat Anshar dan pemimpin kaum suku Aus yang memiliki keahlian memanah. Ia bernama Usaid bin Hudhair bin Sammak. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Kamil, atau orang yang sempurna karena memiliki otak yang cemerlang dan keluhuran akhlak. Dirinya memeluk Islam sebelum hijrahnya Nabi Saw ke Madinah.</p><p><br /></p><p>Suatu hari Mush’ab bin Umair, sahabat Muhajirin sebagai utusan Rasulullah, datang ke Madinah untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk Madinah dengan didampingi As’ad bin Zurarah. Dakwahnya dilakukan di kebun Bani ‘Zhafar, dekat telaga Maraq. </p><p><br /></p><p>Tenyata Mush’ab melakukan sesuatu yang membuat para pemuka Madinah geram. Kemudian Sa’d bin Mua’dz menceritakan kekhawatirannya terhadap kaumnya mengikuti agama yang baru kepada Usaid bin Hudhair. </p><p><br /></p><p>Mereka adalah pimpinan kaum Aus. Usaid pun datang menghadiri ta’lim Mush’ab dengan tujuan untuk menghalangi dakwah, meski merasa tidak enak dengan As’ad bin Zurarah yang merupakan saudara dekatnya dan salah satu dari enam pemuda Yastrib yang pertama masuk Islam. </p><p><br /></p><p>Usaid datang dengan membawa tombaknya, “Apa yang membuat kalian kemari? Kalian ingin memperbodoh orang-orang lemah di antara kami? Menjauhlah dari kami jika kalian masih ingin hidup lebih lama lagi!”</p><p><br /></p><p>Mush’ab berkata dengan lembut, “Maukah engkau duduk dulu untuk mendengarkan? Jika engkau senang dengan sesuatu hal, engkau bisa menerima atau mengabaikannya. Jika tidak menyukainya, engkau bisa menolaknya. Aku akan meninggalkan kalian.”</p><p><br /></p><p>“Baiklah, kesepakatan yang adil. Aku setuju!” kata Usaid.</p><p><br /></p><p>Usaid pun menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk bersama mereka. Mush’ab mulai menceritakan tentang Islam dan membaca beberapa ayat Al-Quran. Kegembiraan terpancar di wajah Usaid. Ia tampak tertarik. Matanya bercahaya dan perkataannya berubah menjadi lembut.</p><p><br /></p><p>Usaid berkata, “Alangkah indah dan baiknya ajaran ini, apakah yang harus aku lakukan jika ingin masuk agama ini?”</p><p><br /></p><p>Mush’ab bin Umair menjawab, “Hendaknya engkau mandi dan bersuci. Bersihkanlah kedua pakaianmu, kemudian bersyahadatlah yang sebenarnya. Lalu berdirilah, lakukanlah shalat dua raka’at.” </p><p><br /></p><p>Usaid pun segera bergegas ke Telaga Maraq untuk bersuci dan melakukan apa yang Mush’ab perintahkan.</p><p><br /></p><p>Setelahnya, Usaid berencana mengajak Sa’d bin Mu’adz untuk masuk Islam. Karena Sa’d yang menyebabkannya memperoleh hidayah. Ia tahu betul bagaimana karakter sahabatnya, Sa’d pastilah akan mudah menerima kebenaran Islam. Usaid pun melakukan taktik agar Sa'd mau memeluk Islam. </p><p><br /></p><p>Ia mengatakan kepada Sa’d bahwa As’ad akan dibunuh oleh Bani Haritsah. Hal itu mengundang kemarahan Sa’d. Sa’d menghawatirkan keselamatan As’ad, anak bibinya, meskipun telah masuk Islam. Ia segera mengambil tombaknya. </p><p><br /></p><p>Usaid gembira. Ia yakin Sa’d akan berubah pikiran setelah mendengar penjelasan dari Mush’ab tentang Islam, dan dugaannya benar. Sa’d telah memeluk Islam saat itu juga. Seluruh bani Abdul Asyhal telah mengikuti Sa’d masuk Islam.</p><p><br /></p><p>Keislaman Usaid dibuktikan dengan kecintaannya kepada Rasul dan Al-Quran. Ia membuktikan kecintaannya pada Al-Quran dengan sungguh-sungguh membacanya, ditambah dengan suaranya yang merdu, khusyuk, mempesona, dan menentramkan jiwa yang mendengarnya. </p><p><br /></p><p>Pada suatu hari, di tengah malam, Usaid bin Hudhair duduk di beranda belakang rumahnya bersama anaknya, Yahya, yang tidur di sampingnya sedangkan kudanya ditambat tidak jauh dari tempat duduknya. Usaid membaca surah al-Baqarah ayat 1-4. </p><p><br /></p><p>Saat Usaid membaca Al-Quran, tiba-tiba kudanya lari berputar-putar hampir memutuskan tali pengikatnya. Ketika ia diam, kudanya pun diam dan tenang kembali. Lalu ia melanjutkan bacaannya, kuda itu kembali bergejolak. Saat Usaid diam, kudanya kembali diam. Kejadian itu terus terjadi berulang kali, sampai dirinya menyadari bahwa gejolak kudanya bisa membahayakan nyawa anaknya.</p><p><br /></p><p>Usaid segera menarik anaknya menjauh dan membangunkannya. Kepala Usaid pun menengadah ke langit. Di sana dirinya melihat sekelompok awan yang di dalamnya bagai lampu-lampu yang bercahaya bergerak menjauh ke atas sampai hilang dari pandangan.</p><p><br /></p><p>Keesokan paginya, Usaid menemui Rasulullah Saw. Dirinya menceritakan peristiwa yang dialami dan dilihatnya semalam. Rasulullah Saw bersabda, “Bacalah, hai Ibnu Hudhair. Bacalah, hai Ibnu Hudhair!” </p><p><br /></p><p>Usaid menjelaskan bahwa dirinya menghawatirkan keselamatan anaknya dikarenakan perilaku kudanya yang tidak terkendali ketika membaca surah al-Baqarah itu. </p><p><br /></p><p>Rasulullah tersenyum dan bersabda, “Tahukah kamu, wahai Usaid. Yang tampak seperti awan tersebut adalah malaikat yang mendekat karena ingin mendengarkan suaramu melantunkan Al-Quran. Seandainya engkau teruskan bacaanmu, niscaya manusia akan menyaksikan malaikat tersebut. Pemandangan itu tidak tertutup dari mereka”.</p><p><br /></p><p>Demikianlah. Sesungguhnya mencintai Al-Quran sejak hari ini sangatlah penting. Paling tidak, kita perlu memerhatikan beberapa poin berikut ini: </p><p><br /></p><p>• Al-Quran adalah sumber bagi segala hukum, sekaligus petunjuk hidup; </p><p>• Mencintai al-Quran adalah bagian dari meneladani Rasulullah Saw;</p><p>• Mencintai al-Quran juga bagian dari upaya kita mendekatkan cintanya Allah;</p><p>• Mencintai al-Quran merupakan amal kebaikan yang utama;</p><p>• Mencintai al-Quran dapat mengantarkan kita pada kesuksesan di dunia, ketenangan dan kedamaian hati;</p><p>• Mencintai al-Quran adalah salah satu wasilah agar kita memperoleh syafa’at di hari kiamat kelak.</p><p>• Mencintai al-Quran dapat menghindarkan kita dari siksa neraka dan diganjar dengan pahala, serta surga yang menanti.</p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw., bersabda, “Barangsiapa mencintai Al-Quran, pasti ia mencintai Allah dan Rasul-Nya,” (HR Ath-Thabrani). </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-44526192435079384752022-06-17T12:57:00.000+07:002022-06-17T12:57:39.927+07:00Yuk Berhijrah Menjadi Manusia Berakhlak Baik<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5NSeP2PqEQCSyhDRGYavUII4XdwWCBnFoO36ISoW4TI2rlXBEGwJcdZSlTNQkkynvMJ7FOakef2wLeeLO5TPYAGOIJVXr56MEUX8LXnAPUtFTViq4OLP5E8IueoNVSmKaRRQdlzRZ-jQsxl1d1PO6W0C1_CZrB1y3vYkjkBOFkBRdDlPr_DaZp9MP/s620/hijrah.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="320" data-original-width="620" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5NSeP2PqEQCSyhDRGYavUII4XdwWCBnFoO36ISoW4TI2rlXBEGwJcdZSlTNQkkynvMJ7FOakef2wLeeLO5TPYAGOIJVXr56MEUX8LXnAPUtFTViq4OLP5E8IueoNVSmKaRRQdlzRZ-jQsxl1d1PO6W0C1_CZrB1y3vYkjkBOFkBRdDlPr_DaZp9MP/s16000/hijrah.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Kita tidak pernah lepas dari dosa, karena kita tempatnya salah dan lupa. Jangan heran ketika Allah Swt. memberikan aturan hidup yang nggak boleh kita langgar – dikarenakan kita sering lupa – maka aturan itu kita langgar juga.<p></p><p><br /></p><p>Ketika Allah Swt. memerintahkan untuk tetap menjaga shalat wajib, eh, kita malah sering meninggalkannya karena lupa waktu. </p><p><br /></p><p>Kita lebih asyik nongkrong di mall berjam-jam sambil ngelihat baju yang lagi ngetrend, daripada masuk ke masjid untuk mendirikan shalat.</p><p><br /></p><p>Ketika Allah Swt. melarang mendekati zina, melalui firman-Nya, “laa taqrabuu zina”; eh, kita malah lupa diri karena saking asyiknya ngobrol dan nonton film di bioskop berduaan dengan kekasih. </p><p><br /></p><p>Allah pun tak pernah kita ingat sedikit pun, adab pergaulan Islami dipinggirkan, dan hasrat diumbar, sehingga kita merasa berbunga-bunga tatkala tangan bersentuhan tangan dengan kekasih. </p><p><br /></p><p>Ketika Allah Swt. mewajibkan berbuat baik kepada orang tua, kita malah sering marah kepadanya ketika uang jajan berkurang. </p><p><br /></p><p>Dunia seolah sempit dan pengap ketika kita hanya diberi uang jajan sepuluh ribu, tetapi dengan sekejap menghabiskan uang jutaan hanya untuk menonton konser Boy Band favorit. </p><p><br /></p><p>Ketika Allah Swt. melarang untuk meniru budaya asing yang tidak Islami, dengan pongah dan sombong kantung belanjaan kita dipenuhi baju dan pakaian yang mengumbar aurat. </p><p><br /></p><p>Kita, berkata kasar ketika ada orang yang mengingatkan. Hanya dengan alasan mumpung masih muda belia, manfaatkan waktu untuk bersenang-senang. Tobat mah nanti kalau sudah nikah dan berkeluarga. </p><p><br /></p><p>Ingat, bahwa hidup di dunia tidak abadi. Saya bisa memastikan bahwa kita tidak ingin mati dalam keadaan hina dina di hadapan Allah. </p><p><br /></p><p>Bahkan, bisa saya pastikan bahwa kita semua pasti takut pada kematian. Kita tidak ingin hidup dalam masa yang singkat sesingkat-singkatnya. Kita selalu berharap bisa panjang usia ketika sedang terbaring sakit di Rumah Sakit. </p><p><br /></p><p>Namun bagaimana pun caranya, di dunia ini tak akan ada yang abadi. Bagaimana pun membantahnya, secara ilmiah pun bisa dibuktikan manusia tidak bisa abadi. </p><p><br /></p><p>Karena itu, sebelum maksiat menghancurkan hidup di akhirat, maka bertobatlah. Segeralah berhijrah atau pindah dari maksiat menuju taat. </p><p><br /></p><p>Karena dengan ketaatan yang kita miliki, akan melahirkan perbuatan baik yang bermanfaat di akhirat kelak. Kebahagiaan nan abadi pun, akan kita dapatkan dan rasakan kenikmatannya. </p><p><br /></p><p>“Sungguh kamu akan mendapati mereka, manusia yang paling serakah kepada kehidupan dunia, bahkan lebih serakah dari orang musyrik. Masing-masing mereka ingin diberi umur seribu tahun, padahal hidup panjang itu tidak akan menjamin dijauhkan dari siksaan neraka. Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 96).</p><p><br /></p><p>Tahukah kawan, Islam bukan sekadar amal yang bersifat lisaniyah semata. Lebih jauh dari itu, Islam harus menjadi ajaran yang tertancap kokoh di dalam jiwa kita. Ketika tertancap di jiwa, tentunya akan mengejawantah dalam bentuk sikap dan tindakan (akhlak mulia). </p><p><br /></p><p>Di dalam Al-Quran juga, kita kerap menemukan ayat yang mengandung kalimat “amanu” (beriman) bersanding dengan kalimat “amalu” (berbuat). Ini menunjukkan bahwa di dalam ajaran Islam, amal perbuatan itu harus kita perhatikan. </p><p><br /></p><p>Ketika kita membeli kitab literarur keislaman – seperti Al-Quran dan kitab Al-Hadits – bukan untuk disimpan di rak buku; bukan pula hanya sekadar dibaca. Tetapi, isi dari kitab tersebut harus mencerahkan dan diamalkan dalam hidup keseharian. </p><p><br /></p><p>Karena itu, kita mesti memahami Al-Quran, sunah dan ilmu pengetahuan dengan segenap potensi kesadaran batiniyah dan lahiriyah. Apa yang kita ketahui harus diamalkan melalui perbuatan yang baik untuk kepentingan hidup di akhirat kelak. </p><p><br /></p><p>Mata digunakan untuk membaca pesan ilahi yang tersirat, dengan membaca buku yang mengandung pesan-pesan Allah. Hati digunakan untuk membaca apa yang tersurat, sehingga memunculkan kondisi ketenangan jiwa. </p><p><br /></p><p>Telinga digunakan untuk mendengar Firman-Nya bukan sekadar telinga lahiriah tapi telinga batin. Gerak jasad harus diarahkan untuk terejawantahnya kebaikan dan kebermanfaatan lingkungan sekitar. </p><p><br /></p><p>Itulah yang disebut dengan akhlak yang kemuliaannya dapat dilihat dari aktivitasnya yang baik ketika menjalani kehidupan ini. Kita akan disebut manusia jujur setelah berhasil mengamalkan prinsip-prinsip kejujuran ketika berinteraksi dengan teman, tetangga, dan orang lain. </p><p><br /></p><p>Kita juga disebut manusia lembut, setelah mampu memperlakukan orang lain dengan lembut. Kita akan disebut sebagai orang-orang bertakwa ketika ketaatan memenuhi seluruh aktivitas hidup, tidak melakukan perbuatan maksiat. </p><p><br /></p><p>Rasulullah Saw. bersabda, <i><b>"Kebajikan adalah akhlak mulia.”</b></i> (Al-hadits). </p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-89614148341042834332022-06-16T18:58:00.003+07:002022-06-16T18:58:25.773+07:00Kapankah Salat Jenazah Ghaib Bisa Dilaksanakan? Ini Penjelasannya<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcvnqn7yXJrfzJh6cpZiZSmePACDPvGNxxQz6herwXl3Z2oEotGgkz9fdbK1eo-eGBqja0VvlEQ3MyKGyzkrqEQ2pAFg7Z97f93x8fOrEoEjkGsxUmXApXg0DF7Zrjn6Sv6WfviPA-DVh-__qwbUoBRf0SMNT1QokkH6A25mLGCxrZGccfSTAS22hF/s780/shalat.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="390" data-original-width="780" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcvnqn7yXJrfzJh6cpZiZSmePACDPvGNxxQz6herwXl3Z2oEotGgkz9fdbK1eo-eGBqja0VvlEQ3MyKGyzkrqEQ2pAFg7Z97f93x8fOrEoEjkGsxUmXApXg0DF7Zrjn6Sv6WfviPA-DVh-__qwbUoBRf0SMNT1QokkH6A25mLGCxrZGccfSTAS22hF/s16000/shalat.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Salat jenazah secara ghaib dapat dilakukan ketika mendapat kabar seseorang telah meninggal dunia, baik jasadnya diketahui maupun tidak, baik sudah ada yang mensalatkan maupun tidak.<p></p><p><br /></p><p>Salat jenazah secara ghaib juga dapat dilakukan, baik di tempat salat (mushala) seperti kasus salat untuk raja Najasyi maupun di kubur orang yang meninggal seperti kasus salat untuk perempuan penjaga masjid.</p><p><br /></p><p>Adapun pelaksanaan salat jenazah bisa dilakukan setelah meyakini seseorang telah meninggal dunia dan sudah siap untuk dilaksanakan salat atasnya. Salat jenazah juga dapat dilakukan di kubur beberapa hari setelah kematiannya.</p><p><br /></p><p>Hal ini sebagaimana dijelaskan beberapa hadits Nabi saw. sebagai berikut: “Dari asy-Sya’bi (diriwayatkan), sesungguhnya Rasulullah saw. pernah salat atas suatu kubur setelah dikubur, lalu beliau takbir empat kali” (HR. Muslim). </p><p><br /></p><p>Juga dalam hadis: “Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan), sesungguhnya Nabi saw. pernah salat atas suatu kubur setelah satu bulan” (HR. al-Baihaqi)”. </p><p><br /></p><p>Ada pula hadis: “Dari Said bin Musayyab (diriwaytkan), bahwa Ummu Sa’d meninggal sementara Nabi saw. tidak ada (di Madinah), maka ketika telah kembali datang beliau mensalatkan atasnya, padahal sudah berlalu satu bulan (dari kematiannya)” (HR. at-Tirmdizi).</p><p><br /></p><p>Berdasarkan hadis-hadts di atas, dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan salat jenazah, baik orang yang meninggal itu sudah dikubur atau sesudah beberapa hari dari kematiannya, seperti tiga hari atau satu bulan. </p><p><br /></p><p>Penyebutan masa waktu dalam hadits tersebut tidaklah menunjukkan pembatasan waktu kebolehan seseorang untuk mensalatkan jenazah, sehingga boleh hukumnya bagi seseorang untuk mensalatkan jenazah dikarenakan suatu hal setelah jenazah dikubur hingga beberapa hari atau bulan.</p><p><br /></p><p><b><i>Sumber: muhammadiyah.or.id</i></b></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-86183733884975421252022-06-15T17:30:00.000+07:002022-06-15T17:30:22.802+07:00Obati Kelelahan Bekerja dengan Shalat<!--wp:paragraph--><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuw6b3-YMZQ03RWznGWTfdCOmFKhCDGprekNcesBI7cJSYY-IxFDKI8eYRvVTAJCiILrTj65HNVqIwy4b-JCeCXpj4ePxq26sMF2VahQHokB-lbC8K0jvp6V1UG1wsdjMch8X3vopnis4/s664/shalat-dhuha.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="332" data-original-width="664" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuw6b3-YMZQ03RWznGWTfdCOmFKhCDGprekNcesBI7cJSYY-IxFDKI8eYRvVTAJCiILrTj65HNVqIwy4b-JCeCXpj4ePxq26sMF2VahQHokB-lbC8K0jvp6V1UG1wsdjMch8X3vopnis4/s16000/shalat-dhuha.jpeg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Menjajah fisik atau jasad untuk terus mengerjakan sesuatu tanpa istirahat yang cukup bakal menyebabkan kita tidak bahagia. Pun begitu dengan kerja dan aktivitas mencari nafkah.<br /><br />Kita sangat membutuhkan kemampuan menilai, apakah harus dikerjakan ataukah sebentar saja mengistirahatkan diri dari kelelahan. Ketika pekerjaan dipandang berat oleh orang lain belum tentu berat menurut penilaian kita.<br /><br />Misalnya, para penggila kerja (workacholic) yang menjadikan pekerjaan sebagai hobby yang tak bisa dilepaskan dari aktivitas keseharian. Dalam benak mereka uang adalah waktu dan waktu adalah mesin penghasil uang.<br /><br />Maka, ketika seseorang tidak memanfaatkan waktu, ia akan kehilangan kesempatan memeroleh uang untuk memenuhi kebutuhan hidup.<br /><br />Namun, penggila kerja tak hanya menjadikan pekerjaan sebagai ladang penghasil uang. Mereka telah menjadikan pekerjaan sebagai bagian dari kehidupan yang tak pernah bisa dipisahkan apa pun. Pekerjaan bagi mereka adalah rasa keindahan (sense of beauty) dalam menjalani kehidupan.<br /><br />Tak heran apabila para pekerja di bidang konstruksi bangunan menjalani pekerjaannya dengan nikmat, karena mereka menempatkan pekerjaan berbahaya itu sebagai aktualisasi rasa keindahan.<br /><br />Dalam perspektif ajaran Islam, kehidupan dunia tidak hanya diisi dengan aktivitas pencarian harta-benda semata. Tetapi, sebuah ruang yang akan mengantarkan dirinya menggapai kebahagiaan di masa mendatang. Shalat yang dikerjakan lima waktu dalam sehari-semalam, hal itu merupakan bentuk penghargaan terhadap jasad kita.<br /><br />Shalat yang kita laksanakan lima kali sehari semalam adalah bukti kita mesti piawai mengelola waktu. Ada saatnya waktu itu digunakan untuk mencari nafkah. Namun, ada waktu juga di mana seluruh aktus hidup selama ini mesti direfleksi hingga melahirkan kesadaran penuh arti. Sebuah kesadaran diri (self awareness) untuk menyempatkan diri bercengkrama dengan sang pencipta kehidupan, Allah Swt.<br /><br />Ibadah shalat, adalah sebuah upaya untuk meninggalkan pikiran-pikiran duniawi sehingga dirinya tidak terjajah harta. Zuhud, seperti diketengahkan para ahli tasawuf adalah sebuah kondisi jiwa yang tidak terjajah oleh harta benda. Ia merdeka sehingga memiliki kebijaksanaan hidup untuk senantiasa membagi tubuh dan jiwa, ruh dan jasad agar dapat berperan secara seimbang.<br /><br />Artinya, pekerjaan yang membutuhkan pengoptimalan jasad mesti diberi kesempatan untuk beristirahat. Dan, istirahatnya seorang muslim adalah dengan menunaikah shalat pada saat waktu yang ditentukan (kitaaban mauqutan) sehari semalam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-86482102555922022692022-06-14T20:03:00.000+07:002022-06-14T20:03:02.151+07:00Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ulama Besar dan Seorang Anak Yatim<p> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPHXEOzU4VGRm8zpHoT1-ktukbKUThdZn1xxvl6MIhuLZ_BAiDzKFvmW3qCMdo09sB9nY6O-vw5Lz9n1MIxrvDFILizr8vwgrvAOevJmlamU0HN1ucqABWEPqZu-YpU220_4IykcXZ4LI/s830/ibnu-hajar.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="556" data-original-width="830" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPHXEOzU4VGRm8zpHoT1-ktukbKUThdZn1xxvl6MIhuLZ_BAiDzKFvmW3qCMdo09sB9nY6O-vw5Lz9n1MIxrvDFILizr8vwgrvAOevJmlamU0HN1ucqABWEPqZu-YpU220_4IykcXZ4LI/s16000/ibnu-hajar.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Ibnu Hajar Al-Asqalani, adalah seorang anak yatim-piatu. Ayahnya meninggal pada saat beliau masih berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika beliau masih balita. Di bawah asuhan kakak kandungnya, beliau tumbuh menjadi remaja yang rajin, pekerja keras dan sangat berhati-hati dalam menjalani kehidupannya serta memiliki kemandirian yang tinggi. <div><br /></div><div>Ibnu Hajar Al-Asqalani dilahirkan pada tanggal 22 sya’ban tahun 773 Hijriyah di pinggiran sungai Nil di Mesir. Nama aslinya adalah Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Qabilah yang berasal dari Al-Asqalan. Namun ia lebih masyhur dengan julukan Ibn Hajar Al Asqalani. </div><div><br /></div><div>Ibnu Hajar berarti anak batu sementara Asqalani adalah nisbat kepada ‘Asqalan’, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Palestina, dekat Ghuzzah.</div><div><br />Suatu ketika, saat beliau masih belajar disebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin, namun ia juga dikenal sebagai murid yang bodoh, selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi.<br /><br />Beliaupun memutuskan untuk pulang meninggalkan sekolahnya. Di tengah perjalanan pulang, dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya, hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam sebuah gua. </div><div><br /></div><div>Ketika berada di dalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Beliau pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban.<br /><br />Melihat kejadian itu beliaupun merenung, bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus. </div><div><br /></div><div>Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika ia di asah trus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar.<br /><br />Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar dijiwa beliau, gurunya pun berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu.<br /><br />Sejak saat itu perubahan pun terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan malampaui teman-temannya yang telah manjadi para Ulama besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal dijaman kita sekarang ini. </div><div><br /></div><div>Di antara karya beliau yang terkenal ialah: <i>Fathul Baari Syarh Shahih Bukhari, Bulughul Marom min Adillatil Ahkam, al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah, Tahdzibut Tahdzib, ad Durarul Kaminah, Taghliqut Ta’liq, Inbaul Ghumr bi Anbail Umr</i> dan lain-lain.<br /><br />Bahkan menurut muridnya, yaitu Imam asy-Syakhawi, karya beliau mencapai lebih dari 270 kitab. Sebagian peneliti pada zaman ini menghitungnya, dan mendapatkan sampai 282 kitab. Kebanyakan berkaitan dengan pembahasan hadits, secara riwayat dan dirayat (kajian).<br /><br />Allah Swt., berfirman, <em>“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai ia sendirilah yang mengubah keadaan mereka sendiri”</em> ( QS. Ar Rad : 11 ).</div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-56669419247019345722022-03-23T16:55:00.000+07:002022-03-23T16:55:10.440+07:00Sejarah Puncak Peradaban Islam di Baghdad<p> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjodYfIuS9o-EZcvsRNbAl-9Pl6sn47f7eG7AbdXFftWwv1GTBq9xrBnswoslTgSNKazpsGePLpAf3qLc5KsGzNtnOaskuvMzJt4X0TLwxkJfeB-n6cSb3uC7PuDGDw-V-GpaBq4PllmPM/s1024/peradaban-baghdad.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="576" data-original-width="1024" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjodYfIuS9o-EZcvsRNbAl-9Pl6sn47f7eG7AbdXFftWwv1GTBq9xrBnswoslTgSNKazpsGePLpAf3qLc5KsGzNtnOaskuvMzJt4X0TLwxkJfeB-n6cSb3uC7PuDGDw-V-GpaBq4PllmPM/s16000/peradaban-baghdad.jpg" /></a></p><br />Peradaban Islam di Baghdad adalah Islam yang mencapai puncak keemasannya. Salah satu aspek yang menjadi tolok ukur kemegahan Baghdad dan sekaligus sebagai standar kesuksesan peradaban Islam adalah pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologinya. Seperti dicatat dalam berbagai buku sejarah, Islam Baghdad adalah Islam yang gemilang yang menandakan pencapaian peradaban dan kemajuan.<br /><br />Kejayaan Baghdah ini terjadi di masa Kekhalifahan Abbasiyah. Baghdad yang dijadikan ibu kota kerajaan ini, merepresentasikan kota modern seperti New York, Paris, atau London di dalam peradaban Barat modern. Hal ini bisa kita lihat dari pengakuan yang diberikan oleh Marshal Hodgson dalam karya monumentalnya, The Venture of Islam, yang mengatakan bahwa Baghdad merupakan bintang cemerlang di semua gugus kota yang ada di planet bumi saat itu.<br /><br />Di antara arsitek kota Baghdad yang sangat berjasa dalam menyusun bangunan peradaban Islam adalah Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun, dua khalifah paling masyhur dalam sejarah Abbasiyah. Al-Rasyid dan Al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah-khalifah yang arif dan bijak. Pada era kekuasaan mereka, peradaban Islam mengalami kemajuan pesat dalam berbagai bidang keilmuan, kesenian, dan kebudayaan.<br /><br />Keduanya dikenal sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keduanya mendirikan lembaga-lembaga ilmiah dan mengundang para sarjana Muslim dan non-Muslim untuk melakukan penelitian dan penterjemahan buku-buku asing. Nama Al-Ma’mun sangat erat dikaitkan dengan Darul Hikmah, pusat intelektualitas Islam. Pada zamannyalah, karya-karya penting filsafat dan sains dari Yunani, Persia, dan India diterjemahkan secara luas ke dalam bahasa Arab. Al-Rasyid dan Al-Ma’mun adalah dua tipikal pemimpin Muslim yang berusaha membangun Islam sebagai peradaban dunia.<br /><br />Bagdad di masa kejayaannya adalah kota model bagi peradaban dunia saat itu. Simbol-simbol kemegahan seperti perpustakaan, klinik kesehatan, laboratorium sains, dan berbagai fasilitas publik, menjadi tolok ukur sebuah kota maju di abad pertengahan. Kota-kota lain seperti Khurasan, Isfahan, dan Kairo, berusaha meniru dan membangun simbol-simbol tersebut.<br /><br />Pada era kejayaan Baghdadlah hidup dan berkembang pemikiran tasawuf sehingga melahirkan banyak tokoh sufi diantarnyan adalah Rabi’ah Al-Adawiyah, al-Hallaj, Al-Bustami, dan Ibn Arabi (yang terakhir ini lahir di Cordova dan hijrah ke tanah Abbasiyah). Di era itu pulalah para filusuf jenius Al-Farabi, Al-Razi, dan Ibn Sina, hidup dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran filosofis mereka.<br /><br />Selain itu, di masa ini juga lahir para pemikir keagamaan (ulama dan fuqaha) juga hidup dan menelurkan karya-karya jenius mereka. Di atas itu semua, Baghdad juga menelurkan erotisme “kisah seribu satu malam,” harem, dan pabrik-pabrik anggur.<br /><br />Peradaban Islam di Baghdad dibangun berdasarkan basis teologi yang intinya diambil dari pesan-pesan universal Alquran. Alquran adalah basis teologi dan moral paling orisinal dan paling otoritatif dalam Islam. Yang lain hanyalah penafsiran terhadap kitab suci ini. Salah satu keuntungan Baghdad adalah bahwa pada masa-masa awal dinasti ini, kodifikasi (pengumpulan/ pembukuan) teologi dan hukum Islam belum diciptakan, atau paling tidak belum tersebar luas, sehingga keragaman penafsiran dan perbedaan pendapat belum begitu banyak.<br /><br />Semangat universalitas dan fleksibilitas Al-Qur’an-lah yang memungkinkan orang-orang seperti Al-Hallaj, Abu Bakar Al-Razi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, muncul, dengan tetap mengaku Muslim, menyembah Allah, dan memberikan sumbangan pengetahuan yang berharga buat kemanusiaan dan kejayaan Islam.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-69584587126187944962022-02-11T14:11:00.002+07:002022-02-11T14:11:13.204+07:00Makna Cinta Ilahi Rabiah Al-Adawiyah<p> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbUon9397NAdIJqiWPGD4z2C6vO3hLt65XQhK_GNrUJA0dyZHwIZG3F2bG6J6uj2TTK04PkNJmOn1iRhHu-TLRBXN2lGeR1a7qPYncUdw8OLCusei3fdpY4V_-MvsMLnZdLlMKByx0vzQ/s700/ilustrasi-wanita-berhijab.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="393" data-original-width="700" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbUon9397NAdIJqiWPGD4z2C6vO3hLt65XQhK_GNrUJA0dyZHwIZG3F2bG6J6uj2TTK04PkNJmOn1iRhHu-TLRBXN2lGeR1a7qPYncUdw8OLCusei3fdpY4V_-MvsMLnZdLlMKByx0vzQ/s16000/ilustrasi-wanita-berhijab.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Secara sufistik, untuk mencapai tingkat penghambaan yang tinggi pada Allah diperlukan cinta yang terhunjam di dalam diri. Kita boleh setuju atau tidak tentang pemikiran seorang tokoh legendaris Sufi wanita, Rabiah Al-Adawiyah tersebut. Kita juga boleh merenungkan kenikmatan cinta yang dipraktikkannya.<br /><br />Tahu tidak kalau luap cinta Rabiah Al-Adawiyah, diwujudkan ke dalam laku bermesraan dengan Allah yakni selalu menghabiskan jatah waktu untuk beribadah dan berdzikir kepada Allah semata.<br /><br />Bahkan pernah suatu waktu ada seorang Ulama terkemuka hendak meminangnya. Rabiah Al-adawiyah malah menjawab: <em>“Maaf…Tuan, saya tidak bisa menerima pinangan Baginda, karena cinta Saya sudah dihabiskan untuk kekasih-Ku Allah”</em>.<br /><br />Lho, kenapa Rabiah Al-Adawiyah bertindak demikian? Sebab dalam pikirannya, cinta kepada manusia hanya akan menghabiskan waktu untuk memalingkan cinta kepada Allah. Tidaklah heran jika ia hanya mengharapkan cinta Allah, bukan cinta manusia.<br /><br />Pada posisi itu, dirinya sudah sedemikian dimabuk cinta, rindu dan ingin berbicara dengan Allah layaknya sepasang kekasih. Inilah salah satu kenikmatan dalam ibadah yang dirasakan Rabiah Al-Adawiyah yang berbalut cinta.<div><br /></div><div><h3>Cinta (Mahabbah) Rabiah Al-Adawiyah pada Tuhan</h3><br />Imam Ghazali dalam kitab <em>Mahabbah</em> mengatakan, "Allah adalah yang paling berhak menerima cinta (<em>mustahiq mahabbah</em>). Mahabbah kepada Allah merupakan puncak keberagamaan. Setelah sampai kepada puncak mahabbah tidak ada lagi pendakian. Setiap manusia yang mencapai tingkatan cinta seperti itu yang dirasakan hanyalah kerinduan (<em>syauq</em>) dan kemesraan (<em>uns</em>).”<br /><br />Mahabatullah merupakan penyerahan diri kepada Allah secara total. Bersandar hanya kepada-Nya, dan mengutamakan ketaatan dalam hidupnya. Cinta seperti ini merupakan puncak kenikmatan ruhani. Hatinya tidak merasa memiliki kenikmatan kecuali menjadikan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya di atas segala-gala.<br /><br />Jika sudah terjalin cinta antara seorang hamba dengan Tuhannya, Dia (Allah) akan memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya, seperti yang dilakukan Rabiah Al-Adawiyah, ulama sufi wanita.<br /><br />Cintanya kepada Allah telah mengarahkan jalan hidup sehingga seluruh gerak jasadnya tercurah untuk-Nya. Ia telah mendaki puncak cinta yang tak bertepi sehingga tak pantas menjalin cinta dengan sesama manusia. Sebab, hatinya takut terbagi menjadi dua. Cinta kepada Allah. Dan, cinta kepada manusia.<br /><br />Ia pun berlari-lari di jalanan dekat Pasar, seraya meneriakkan rasa cintanya kepada Allah. Untuk meyakinkan umat bahwa segala aktivitas ibadahnya bukan karena berharap surga dan menghindari api neraka. Ibadah Rabiah Al-Adawiyah adalah ibadah yang dilandasi rasa cinta menggebu kepada sang Khaliq yang Mahamencintai.<br /><br />Maka, yang muncul dari seluruh desah nafas hidupnya adalah keabadian beribadah. Seluruh denyut nadi bertakbir mengagungkan ke-Mahaagung-an sang pencipta kehidupan, Allah Rabbul Izzati.<br /><br /><h3>Makna Kesetiaan Pada Tuhan</h3></div><div><br />Kita jangan terjebak atau mau diperbudak cinta yang menggelapkan alam pikir. Kalau kita gelap mata dan hati dengan cinta, itu pertandanya kita tidak mendasarkannya kepada Allah yang Mahasuci. Jadi, biar tidak terjebak dengan cinta klise atau palsu, saya saranin kalau cinta harus diikuti dengan cinta <em>Hablum Minallah</em> (cinta kepada Allah). Kemudian, cinta <em>Hablum Minannas</em> (cinta kepada manusia).<br /><br />Cintamu juga akan menukik di kedalaman hati dan jiwa serasa terbang ke awang-awang. Buktinya, Rabiah Al-Adawiyah. Di kedalaman hatinya terpateri asma Allah sehingga ia merasa belum mampu menjalin cinta dengan orang lain. Makanya, ketika seorang Ulama besar sepangkat Hasan Al-Bashri hendak meminangnya, ia segera menolak secara halus.<br /><br />Mungkin sampai hari ini kita dekat Allah ketika ditimpa suatu persoalan hidup, dan lupa kepada sang Khalik ketika mendapatkan kesenangan. Maka ingatlah! Sebaik-baiknya manusia ialah orang yang dekat dengan Allah ketika dalam kesenangan dan kesusahan. Itulah yang dinamakan dengan pengabdian cinta tanpa henti (<em>the eternal of love</em>).<br /><br />Kita mestinya lebih mencintai Allah melebihi apa yang kita miliki sekarang. Sebab, yang dimiliki kita sebenarnya adalah kepunyaan-Nya yang harus dikembalikan. Harta, tahta dan pasangan hanyalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.<br /><blockquote><p style="text-align: center;"><strong>”Ya Allah, hamba mohon cinta-Mu dan cinta orang-orang yang mencintai-Mu, serta amalan yang mendekatkan kepada cinta-Mu.” (HR.Tabrani dan Tirmidzi).</strong></p><div><strong><br /></strong></div></blockquote></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-48230449291501862562022-02-11T14:05:00.000+07:002022-02-11T14:05:36.935+07:00Fungsionalitas “God Spot” <p><b></b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: left;"><br /></div><p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmDzUWKNoffnafTeU-gaad3RB6lFoupTZfHXX26U89iYust-IU8BHwIPphKhtLaoHMr3eFoAEMZDjxw4GbMLiuei_bUW33iVrNevq25IirFg2hoNdUsWs9LtvyFxQbZy3r4PnwB8HLb3M/s1000/potensi-manusia.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="503" data-original-width="1000" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmDzUWKNoffnafTeU-gaad3RB6lFoupTZfHXX26U89iYust-IU8BHwIPphKhtLaoHMr3eFoAEMZDjxw4GbMLiuei_bUW33iVrNevq25IirFg2hoNdUsWs9LtvyFxQbZy3r4PnwB8HLb3M/s16000/potensi-manusia.jpeg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Asma Allah harus selalu kita ingat kapan pun berada. Dia (Allah) harus selalu memenuhi benak, memperkaya batin, mengisi pikir, dan mengental di jiwa. Setiap desah nafas, gerak pikir, aktivitas jasadiyah; hidup dan kematian kita selalu diarahkan pada ridha Allah. <div><br /></div><div><br /></div><div>Meskipun kadangkala kita mengabaikan-Nya, melalaikan-Nya, dan mengkhianati-Nya; Dia tak pernah bosan membuka pintu taubat. <p></p><p><br /></p><p>Dia (Allah) tak pernah sekalipun mengabaikan kita, selalu mengabulkan doa yang kita panjatkan, menyembuhkan sakit yang kita derita, dan memberikan nikmat-Nya yang tak terkira berupa anugerah kehidupan. Saat di dalam hati kita tependam asma Allah, kepercayaan terhadap hari akhir akan semakin kuat, sehingga setiap kehendak aktivitas, semuanya dibungkus dengan kemuliaan niat dan tujuan. </p><p><br /></p><p>Di dalam struktur otak kita dibenamkan “titik ketuhanan” dalam lobus temporal, yakni semacam mesin syaraf yang dirancang Tuhan untuk berhubungan dengan hal-hal berkaitan dengan agama. Titik syaraf ini dikenal dengan God Spot atau God Module, yang telah terpateri, build in, dan embed dalam setiap otak manusia. God Spot ini berfungsi menangkap hal-hal spiritual, pengalaman luar biasa, nasihat-nasihat, kerinduan berdekatan dengan-Nya, bahkan menangkap pengalaman beragama (religius exprerience) yang diingat seumur hidup yang mengubah kehidupan (life transforming). </p><p><br /></p><p>Karenanya, kesadaran kita terhadap peran Tuhan dalam hidup; di saat susah-senang, sakit-sehat, gembira-derita, dan kaya-miskin, pertanda bahwa God Spot kita berfungsi secara baik. Ketika kita tidak pernah mengoptimalkan “titik ketuhanan” dalam otak, di saat itu juga kesadaran diri tidak akan pernah mengejawantahkan perubahan positif. Kita tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari, karena ketidakberfungsian God Spot tersebut. </p><p><br /></p><p>Di dalam Al-Quran, dijelaskan, “Allah itu lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri.” (QS Qaf [50]: 16). Karenanya, setiap hamba Allah diharuskan untuk terus menerus mengingat Allah, agar dapat menjaga supaya tetap terkoneksi dengan sang Maha Pencipta, Allah Swt. Sebab, mengingat Allah, merupakan pertanda hati kita masih hidup, masih subur, dan masih memberikan bunga yang mengharumkan bagi hidup; yakni amal saleh. </p><p><br /></p><p>Dengan mengingat Allah, antara siang dan malam, tentunya akan memberikan energi hidup, meluruskan niat, dan memperbanyak amal baik dalam hidup. Tak hanya itu, dengan mengingat Allah juga kita akan selalu mampu menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan, saat kita hendak mengerjakan suatu pekerjaan, dengan mengawali ingat Allah dan mengakhirinya dengan ingat Allah juga, akan menjadikan kita melakukan pekerjaan yang berpahala; pekerjaan yang akan diganjar dengan surga-Nya. </p><p><br /></p><p>Jadi, saat kita hendak beraktivitas, ingat dulu Allah, kemudian Allah, dan Allah terus-menerus; sehingga gerak jasad selalu dalam ridha-Nya, proses selalu dibimbing-Nya, dan hasil selalu mendapat berkah-Nya. Ingat, ketika kita tidak menjalin komunikasi dengan-Nya, di kedalaman hati tidak akan terhunjam asma Allah sehingga meng-ambyar-kan amal kebaikan. Eksisnya amal kebaikan kita di hadapan Tuhan terletak pada seberapa seringnya kita menanam asma Allah saat hendak beraktivitas. </p><p><br /></p><p>Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal dia Telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar atas gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal, berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).</p><p><br /></p><p>Semoga dengan mengingat Allah dulu, kemudian Allah, dan Allah terus-menerus dalam hidup; membuahkan ketenangan jiwa, keteguhan hati, dan kebajikan amal. Sebab, dengan mengingat-Nya, kita akan menempatkan setiap aktivitas sebagai penghantar mendapatkan pahala dari Allah di akhirat. Wallahua’lam</p></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-58719057889893749212022-01-18T09:42:00.002+07:002022-01-18T09:42:17.596+07:00Fungsi Al-Quran dalam Hidup itu Perbaikan bukan Kerusakan!<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGuih-dc_x42qcduKpe586qndgqVt2BuMsxlUx3GhuMie3KouaGs-CLfj5KMSxFfg2CLAlzOLq5iqyu0wDvMYwSGSjoQkKNP3ebDF-6TmiHN8jkjIFYF6lV1r_8vt0hyZ1p6AAbl8Wkss/s512/quran-petunjuk-hidup.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="256" data-original-width="512" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGuih-dc_x42qcduKpe586qndgqVt2BuMsxlUx3GhuMie3KouaGs-CLfj5KMSxFfg2CLAlzOLq5iqyu0wDvMYwSGSjoQkKNP3ebDF-6TmiHN8jkjIFYF6lV1r_8vt0hyZ1p6AAbl8Wkss/s16000/quran-petunjuk-hidup.jpg" /></a></div><br />Andai kita tengah berada dalam suatu penjelajahan, di mana rute yang kita lalui telah disusun dan direncanakan oleh sang panitia. Tentunya kita akan menemukan dua jenis petunjuk arah: petunjuk arah yang benar dan petunjuk arah yang salah.<br /><br />Petunjuk arah yang benar adalah yang membawa kita pada keselamatan, di mana garis finis kita temukan dengan tepat. Kita selamat sampai tujuan karena telah mengikuti petunjuk yang tepat.<br /><br />Sebaliknya, mengikuti arah yang salah akan membuat kita tersesat. Di mana garis finis tak kunjung diketemukan. Kita pun tersesat karena tidak memilih arah yang benar secara cermat.<br /><br />Petunjuk arah yang memberi dampak keselamatan bagi manusia, itulah petunjuk yang melahirkan kemaslahatan. Satu regu peserta penjelajahan tidak akan saling salah-menyalahkan, karena tidak menemukan masalah di tengah perjalanan.<br /><br />Mari kita mengingat kembali apa yang telah diutarakan di muka, bahwa tiada petunjuk yang paling benar bagi manusia dalam mengarungi medan dunia selain Al-Quran. Artinya, Al-Quran pasti melahirkan kemaslahatan, bukan kerusakan.<blockquote><p style="text-align: center;">Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah berujar, “Jalan yang diajarkan syariat Islam adalah jalan yang paling tepat dalam pengerjaan ibadah kepada Allah. Karena itu bertakwalah kepada Allah dan hendaklah istiqomah dalam mengerjakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya,”.</p></blockquote>Kita, sebagai muslim sekaligus khalifah muka bumi yang baik, adalah suatu keharusan berpedoman pada Al-Quran. Dengannya kita akan terhindar dari tindak-laku salah kaprah yang berakibat pada kerusakan, bukan kemaslahatan.<br /><br />Seringkali kita tidak menyadari kalau kerusakan yang terjadi di sekitar kita justru ditimbulkan oleh ulah perbuatan kita, seperti kerusakan alam. Niat kita memang baik melakukan pembangunan demi kesejahteraan insan banyak. Tapi kita kerap melupakan tetunjuk arah yang Al-Quran jabarkan.<br /><br />Pohon-pohon kita tebang tanpa aturan, dampaknya merusak ekosistem. Padahal, Allah mengingatkan kita melalui firman-Nya, <em>“Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi hak-haknya dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi,”</em> (QS Asy-Syu’ara [26]: 183).<br /><br />Sungguh peringatan yang benar. Abai terhadap peringatan Allah, berarti menantang kehidupan yang serba susah. Tidak ada kedamaian dan ketentraman hidup di tengah-tengah kondisi yang rusak, baik kerusakan alam maupun kerusakan sosial.<br /><br />Kerusakan tatanan sosial antara lain ditandai dengan perselisihan dan fitnahan. Akibatnya penduduk bumi akan terpecah, murka Allah pun akan membuncah.<blockquote><p style="text-align: center;">Syeikh Ibnu Taimiyyah berujar, “Apabila sebuah kaum berpecah belah, niscaya mereka akan rusak serta binasa, dan jika mereka bersatu, niscaya mereka akan baik dan berkuasa. Karena sesungguhnya persatuan adalah rahmat dan perpecahan adalah azab,”.</p></blockquote>Maka, kalaulah belakangan ini kita menyaksikan begitu banyak kerusakan, baik alam maupun sosial, sudah sepantasnya jika kita bertanya ke dalam diri; sudahkah kita memposisikan Al-Quran sebagai petunjuk hidup?<br /><br />Kalaupun kita sudah merasa demikian, sementara kerusakan masih juga belum dapat ditanggulangi; mungkin kita kurang gigih mengajak orang lain untuk kembali ke petunjuk hakiki, yakni Al-Quran al-Karim. Ya, sebab kita tidak mungking menciptakan kemaslahatan seorang diri, melainkan membutuhkan tangan-tangan lain yang terorganisir dengan tepat.<br /><br />Demikianlah, sesiapa yang menjadikan Al-Quran sebagai putunjuk hidupnya demi melahirkan kemaslahatan umat akan senantiasa menghindari perselisihan. Rasulullah sendiri pernah melakukannya seperti saat menunda rencana perombakan bangunan Ka’bah demi menjaga hati kaum muslimin; juga Ibnu Mas’ud saat mengingkari ‘Utsman demi menyempurnakan safar, Ia tetap salat di belakang ‘Utsman dengan sempurna.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-17568601832599518282022-01-17T15:34:00.002+07:002022-01-17T15:34:09.954+07:00Kokohkan Imanmu, Muliakan Perilaku dengan Akhlak Mulia<p> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdN8Dn76pjQUZYlDlWGqU39xi5BWsmC1brasjEpvm6KU7qsBFJxhAtPP2aykuDKUDDrbKjo9Uq24SuyVhNV81xFxXvq_5zcrfzuDJ5QA_oSTW85bq8SXX7cj4iAa7s14j18-U2OdKddMU/s480/akhlak-bertetangga.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="320" data-original-width="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdN8Dn76pjQUZYlDlWGqU39xi5BWsmC1brasjEpvm6KU7qsBFJxhAtPP2aykuDKUDDrbKjo9Uq24SuyVhNV81xFxXvq_5zcrfzuDJ5QA_oSTW85bq8SXX7cj4iAa7s14j18-U2OdKddMU/s16000/akhlak-bertetangga.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Kawan, jangan sia-siakan kesempatan yang diberikan Allah pada kita saat ini. Jangan biarkan keimanan yang kita miliki tergerus oleh maksiat dan lama-lama terkikis dan habis.<br /><br />Bergeraklah, peliharalah iman dengan amalan kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas. Niscaya, dengan keimanan yang terpatri kuat, maka kita akan menjadi manusia yang senantiasa menebar kebaikan pada sesama.<br /><br />Dalam sebuah sabdanya, Rasul Saw bersabda, <em>“Tidak sempurna iman seseorang bila tidak bisa mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.”</em> (Al-Hadits).<br /><br />Begitu pentingnya kesungguh-sungguhan dalam beriman, kita harus membuktikan dengan akhlak mulia. Tunjukkan kepedulian pada sesama sehingga semua orang akan selalu mendoakan kebaikan untuk kita. Itulah arti menjadi manusia seutuhanya.<br /><br />Manusia yang mukmin, muslim, dan juga muhsin. Lantas, kapan kita harus sungguh-sungguh beriman? Secara filosofis, Al-Quran sudah menjawabnya, <em>“Tidakkah cukup waktunya bagi kalian untuk beriman?”</em><br /><br />Ini pertanyaan sekaligus jawaban yang sangat lugas. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Tunjukkan kesungguh-sungguhan dalam beriman segera saat ini juga. Jika ditunda-tunda, kita tidak pernah tahu kapan ajal datang menyapa.<br /><br />Saat hidup kita begitu bermanfaat bagi orang dan lingkungan sekitar, maka kematian kita akan menjadi kehilangan yang berarti. Sebaliknya, saat hidup kita tidak memberikan nilai apapun untuk manusia dan alam, maka kematian kita hanya kabar sepintas lalu. Tak memberikan efek apapun.<br /><br />Dan juga, karena kematian adalah misteri yang belum terjawab, hal ghaib yang patut kita imani meski tak tahu kapan ia akan datang, maka persiapkanlah diri kita. Tidak ada yang tahu kapan malaikat Izrail menjalankan tugasnya untuk menjemput kita untuk kembali kepada Sang Pemilik.<br /><br />Ibarat kita yang diberi kabar oleh orangtua bahwa kita akan segera pulang ke kampung halaman pada waktu yang belum ditentukan. Orang yang cerdas tentu akan bersiap-siap, melakukan antisipasi karena siapa tahu orang tua menjemput secara mendadak. Agar saat tiba-tiba kita dijemput, kita akan tenang dan tidak akan panik menghadapinya.<br /><br />Begitu juga persiapan hidup. Sebelum ajal datang menjemput, antisipasi harus dilakukan dari sekarang, bukan nanti, nanti, dan nanti. Persiapkan bekal sebanyak mungkin.<br /><br />Namun ingat, bawalah bekal yang bermanfaat. Bekal untuk kita di akhirat kelak adalah amalan-amalan baik. Jika kita tidak menyiapkan apapun saat ini dengan bekal yang seadanya, jangan pernah salahkan siapa-siapa jika saat dijemput dalam kondisi yang tidak siap. Bekal pun tidak cukup sehingga tidak tahu akan bertahan dengan apa di akhirat kelak.<br /><br />Islam mengajarkan hidup dengan perencanaan yang baik. Manajemen diri dalam menata waktu, mengisi hidup dengan amal-amal yang baik sesuai skala prioritas. Dalam konsep Islam, tidak ada yang namanya keajaiban yang datang tiba-tiba.<br /><br />Sesungguhnya yang dianggap keajaiban adalah hubungan sebab-akibat dari rentetan kejadian sebelumnya.Hanya saja, seringkali kita menganggapnya suatu kejadian yang kebetulan. Padahal, dalam pandangan Allah, boleh jadi itu semua bukanlah kebetulan.<br /><br />Kita tidak bisa berkata, <em>“Nanti saja kalau sudah tua atau sudah mendekati ajal, aku bertobat deh.”</em> Karena itu, hentikan maksiat. Lakukan tobat. Lalu, bergeraklah. Segera berhijrah, menjadi pribadi yang lebih baik.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-84406870127059799652022-01-16T23:39:00.005+07:002022-01-16T23:39:51.255+07:004 Bahaya Kecanduan Media Sosial<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj24rE6u3xhHGz8aAx9C8wEPJDLzS_-FW1d3JvpnrHVQV3UC4BhvhxUhrqYuwFbRRFj0xdsW60iYRq2Uu2-AKEHi_UJ0ABZa4NrmrshbwLdwudid40aK-lUOcaSfngSUeupgz5uizlFTt4/s673/bahaya-media-sosial.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="373" data-original-width="673" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj24rE6u3xhHGz8aAx9C8wEPJDLzS_-FW1d3JvpnrHVQV3UC4BhvhxUhrqYuwFbRRFj0xdsW60iYRq2Uu2-AKEHi_UJ0ABZa4NrmrshbwLdwudid40aK-lUOcaSfngSUeupgz5uizlFTt4/s16000/bahaya-media-sosial.jpg" /></a></div><br />Selain bisa dijadikan alat yang positif untuk melawan ketidakadilan yang menimpa kelompok masyarakat. Media sosial juga pun memiliki dampak negatif yang juga tidak kalah banyak. Karena itu, agar tidak menjadi senjata tuan bagi kita, perlu kiranya mengetahui dampak negatif media sosial supaya bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosial.<div><br /></div><div>Memang setiap hal pasti memiliki dampak positif dan dampak negatif yang keduanya seperti dua sisi mata uang yang keduanya tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, kita sebagai muslimah yang cerdas, tentunya bisa memilih sesuatu hal dengan pertimbangan kebermanfaatan yang lebih tinggi daripada memilih sesuatu dengan tingkat bahaya yang tinggi.<br /><br />Lantas, apa saja dampak negatif itu? Inilah 4 bahaya kecanduan menggunakan media sosial. </div><div><br /><h3 style="text-align: left;"><strong>1. Memicu Tindakan Kriminal.</strong></h3><div><br /></div>Bagi Netizen yang peka akan pemberitaan, pasti sudah mengetahui bagaimana berita-berita kriminal atau kejahatan terjadi bermula dari media sosial. Bentuk-bentuk kejahatannya, bisa seribu macam, seperti: Penculikan anak di bawah umur, Perdagangan manusia, Penipuan yang menguras uang, Pencemaran nama baik akibat saling ejek, Isu SARA, dll, yang bermula dari aktivitas di sebuah media sosial.</div><div><br /><h3 style="text-align: left;"><strong>2. Menghilangkan Gairah Bekerja.</strong></h3><div><br /></div>Karena aktivitasnya hanya terus saja mengikuti apa yang terjadi pada sebuah media sosial, maka pekerjaan rutin yang seharusnya dikerjakan, malah terbengkalai karena asyik dengan media sosial pribadinya. Disamping itu juga, media sosial bisa menimbukan budaya malas, dan hal ini sangatlah tidak diharapkan, serta bisa membunuh potensi-potensi masyarakat Indonesia khusus kaum muda.</div><div><br /><h3 style="text-align: left;"><strong>3. Menghabiskan Waktu Produktif.</strong></h3><div><br /></div>Aktivitas seperti tiap saat update status, melihat komentar, atau upload foto, jika dilakukan tanpa mengenal waktu, maka hal-hal itu bisa dikatakan sebagai pembuangan waktu. Kegiatan yang berlebih demikian, dipkamung tidak akan pernah mendatangkan faedah yang bermanfaat, tapi akan mendatangkan kejelekan.</div><div><br /><h3 style="text-align: left;"><strong>4. Mengganggu Proses Belajar.</strong></h3><div><br /></div>Siswa yang sedang dalam masa sekolah kemudian aktif menggunakan media sosial yang berlebihan, dapat mengganggu proses belajar mengajar. Ketakutan seperti ini, muslimah perlu tahu, memang wajar adanya. Karena hampir semua anak SD banyak memakai telefon genggam, layaknya orang dewasa. Apabila ini terjadi maka akan berimbas pula pada kualitas generasi penerus estafet kepemimpinan di negeri ini.</div><div><br />Dalam hal ini, kita harus bijak menggunakan media sosial agar bisa merasakan manfaat yang besar dan meminimalisir dampak buruk yang akan terjadi. Khusus untuk penggunaan media sosial pada perempuan, maka perlu kejelian dalam mencari teman, supaya tidak mudah ditipu orang tidak bertanggungjawab. <div><br /></div><div>Mari menjadikan kehadiran Media Sosial sebagai jalan untuk membuat kehidupan kita lebih mudah, indah, dan berkah.</div></div>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-41953753217845133102022-01-13T15:26:00.001+07:002022-01-13T15:26:29.992+07:00Imam Ibn Jarir al-Thabari, Ulama Pecinta Al-Quran<p> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWPvnd3tGB8U-Mj7f-AxQRV4hdqIOS3TU6yXB32ewr_Jvju3dkvPJkOzwLOZKMt9kpDTzAsPDky8Q6A0GVMZMNKJReoilLOd7oAf5ljsfsJhu3cGyFY2IF2E1geKbvuEAZLer9nmdg4No/s630/Ibn-Jarir-At-Thabari.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="300" data-original-width="630" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWPvnd3tGB8U-Mj7f-AxQRV4hdqIOS3TU6yXB32ewr_Jvju3dkvPJkOzwLOZKMt9kpDTzAsPDky8Q6A0GVMZMNKJReoilLOd7oAf5ljsfsJhu3cGyFY2IF2E1geKbvuEAZLer9nmdg4No/s16000/Ibn-Jarir-At-Thabari.jpg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"></td></tr></tbody></table><br />Luar biasa sekali perjuangan ilmu Imam Al-Thabari. Seluruh hidupnya diwakafkan untuk menuntut ilmu. Waktunya, tidak disia-siakan untuk hal-hal yang tiada manfaatnya. Dia sampai mengabaikan dirinya untuk menikah, karena kehausannya terhadap ilmu pengetahuan.<br /><br />Tak hanya itu, kesehariannya adalah tasbih dan zikir, yang direalisasikan dalam sifatnya yang zuhud dan wara’. Meskipun jomblo, beliau tidak merasa resah sedikitpun. Karena telah meneguk kenikmatan dan kelezatan ilmu yang dicarinya.<br /><br />Ibnu Jarir al-Thabari lahir di Amal, daerah subur di Tabaristan (Turkmenistan), selatan laut Kaspia pada tahun 224 H atau 923 M. Dia bernama lengkap Muhammad bin Jarir al-Thabari bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Panggilannya adalah Abu Ja’far.<br /><br />Sejak kecil, ayahnya sangat perhatian dalam membiayai Ibn Thabari mencari ilmu. Itu terjadi karena ayahnya bermimpi melihat Rasulullah dan Ibn Thabari membawa sekeranjang batu. Dalam mimpinya, dia melihat Ibnu Thabari sedang melempar batu dihadapan rasulullah.<br /><br />Mimpinya ditafsirkan oleh ahli tafsir mimpi bahwa Imam Thabari kelak akan menjadi seorang yang memelihara syariatnya. Maka tak heran, pada usia 7 tahun Ibnu Al-Thabari sudah menghapal Qur’an. Menjadi imam shalat pada usia 8 tahun. Dan menulis hadits ketika berusia 9 tahun.<br /><br />Seluruh waktunya digunakan untuk mencari ilmu. Dia menempuh perjalanan jauh mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bekal perjalanannya berasal dari harta ayahnya dan warisan ayahnya yang dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab.<br /><br />Tatkala berusia 40 tahun dan telah kenyang menjalani hidup dalam mencari ilmu, Imam Al-Thabari tinggal menetap dengan sedikit harta yang dimilikinya.<br /><br />Imam al-Thabari memiliki kepandaian dan kecerdasan yang luar biasa. Ia mengisahkan bahwa dirinya mampu menguasai <em>ilmu arudh</em> (Ilmu tentang syair atau sajak) dengan mempelajari <em>kitab arudh</em> tersebut dalam tempo semalam. Imam Ibnu al-Thabari dikenal sebagai mujtahid mutlak, ahli tafsir, hadits, sejarawan, fiqh dan ushul fiqh serta ahli bahasa.<br /><br />Setelah tinggal menetap, dirinya difokuskan untuk menulis dan mengajarkan ilmunya.<br /><!--nextpage--><br />Ia penulis yang sangat produktif, dengan puluhan buku dalam bidang keilmuan Islam. Selama 40 tahun, Ibnu Jarir ath-Thabari menulis kitab dan bisa menghasilkan tulisan sebanyak 40 halaman setiap harinya. Karyanya yang sangat terkenal antara lain, <em>Tafsir al-Qur’an</em> berjudul <em>“Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Quran</em> sebanyak 30 jilid dan <em>“Tarikh al-Rusul, wa al-Anbiya wa al-Muluk wa al-Umam”</em> (sejarah para utusan Tuhan, para nabi, raja-raja dan bangsa-bangsa) sebanyak 8 jilid, masing-masing 700 halaman. Kemudian <em>“Tahdzib al-Atsar”</em>, <em>“Ikhtilat ulama al-Amshar”</em>, <em>“Adab al-Qadhi</em> (Etika hakim).<br /><br />Imam al-Thabari adalah seorang yang zuhud dan wara’. Ia menolak menerima jabatan sebagai Qadhi (hakim) di wilayah al-Mazhalim, meskipun diberi gaji yang tinggi. Ia cukup puas dengan sepetak tanah warisan ayahnya di Thabaristan. Apabila ath-Thabari diberi hadiah, ia hanya akan menerimanya jika dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik.<br /><br />Namun bila tidak, ia akan menolaknya dengan ramah dan meminta maaf kepada pemberi hadiah. Ia selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan para ulama.<br /><br />Dia tidak takut celaan dan cercaan manusia, meskipun menyakitkan. Dia tidak terpancing sedikit pun ataupun membalas cercaan mereka. Namun ia bergegas meninggalkan dan menulis masalah perdebatannya dalam sebuah kitab.<br /><br />Ia paham, mereka yang mencela dan mencercanya adalah orang-orang bodoh, hasad dan mengingkarinya. Karena orang-orang yang berilmu dan ahli menjalankan agama tidak akan berbuat demikian kepadanya.<br /><br />Ketika seseorang telah berusia 35 sampai 40 tahun dan disibukkan dengan ilmu, maka keinginan untuk menikah terabaikan. Begitu juga Ibnu Ath-Thabari. Hingga akhir hayatnya ia hidup membujang. Karena dirinya disibukkan dengan ilmu. Dilahapnya kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar.<br /><br />Baginya, ilmu memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak pernah dirasakan kecuali yang telah menjalaninya.<br /><br />Ibnu Jarir ath-Thabari meninggal di sore hari, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 H, pada usia 86 tahun. Dia dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qu, Baghdad.Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2116560100142023847.post-54546832091025285252022-01-09T14:33:00.006+07:002022-01-09T14:33:50.017+07:00Inilah Makna Ikhlas Karena Allah: Syukur, Sabar, Tabah dan Tawakal<p> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeE_YcEYM8yDokwYMCL6Gb2O3BJMZRBz1vUnhjo49jfZj3iZce229HgVtUk9-9Odu3diMjmIfeG44LJECc2q6ekNZ-s2xnkzyDDSGulnbZxk1dHUEvVh4xitQTA74k28j2v-Ktg-0oswQ/s585/suami-bahagia.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="419" data-original-width="585" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeE_YcEYM8yDokwYMCL6Gb2O3BJMZRBz1vUnhjo49jfZj3iZce229HgVtUk9-9Odu3diMjmIfeG44LJECc2q6ekNZ-s2xnkzyDDSGulnbZxk1dHUEvVh4xitQTA74k28j2v-Ktg-0oswQ/s16000/suami-bahagia.jpg" /></a></p><br />Ikhlas berarti murni, tidak tercampuri oleh sesuatu yang lain. Ikhlas karena Allah artinya yang dituju hanyalah Allah, yang dicari dan yang diharapkan hanyalah Dia semata, tidak yang lain. <div><br /></div><div>Orang yang ikhlas ialah orang yang selalu memurnikan niatnya karena Allah, memfokuskan tujuannya hanya kepada-Nya, bersandar, bertumpu dan bergantung kepada-Nya, senantiasa ridha dengan segala ketentuan dan ketetapan-Nya, serta merasa puas dengan segala pemberian-Nya.<p></p><p><br /></p><p>Ketika beramal, ia beramal dengan sebaik-baiknya dan mempersembahkannya kepada Allah. Hatinya jauh dari motivasi pamer (riya), apalagi membangga-banggakan diri dengan amalnya. Karena yang ia cari dan ia tuju hanyalah Allah, yang ia harapkan hanyalah ridha-Nya.</p><p><br /></p><p>Orang yang ikhlas hidupnya akan merdeka; merdeka dari penjajahan nafsu dan perbudakan syahwat. Karena, hatinya penuh dengan keyakinan kepada-Nya, pikirannya selalu tertuju kepada-Nya, dan kesadarannya senantiasa tersambung dengan-Nya. </p><p><br /></p><p>Orang yang ikhlas juga akan merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan bersama Allah. karena baginya, Allah adalah sumber kebahagiaan yang sesungguhnya, dan segala-galanya.</p><p><br /></p><p>Orang yang ikhlas adalah ahli syukur ketika berlimpah karunia. Kemelimpahan tak membuatnya lalai dari-Nya, gemerlapnya dunia yang menghampirinya tak membuatnya silau hingga melupakan-Nya. Ia juga ahli sabar ketika derita menimpa. </p><p><br /></p><p>Kesulitan tak membuatnya terpuruk, kemiskinan tak membuatnya ambruk, bencana tak menjadikannya kecewa dan putus asa, apalagi sampai mengutuki takdir-Nya. </p><p><br /></p><p>Justeru ia semakin teguh dan tangguh. Karena ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa semuanya adalah ujian dari-Nya untuk meningkatkan kualitas kehambaannya dan untuk lebih mendekatkan dia dengan-Nya.</p><p><br /></p><p>Siapa yang bertumpu pada makhluk, ia akan jatuh. Siapa yang betumpu pada Allah, ia akan tangguh. Orang yang menggantungkan seluruh harapannya dan bertumpu sepenuhnya kepada harta, ia akan jatuh dalam lembah keputus asaaan, ketika harta tersebut hilang dari genggamannya.</p><p><br /></p><p>Demikian pula halnya ketika menjadikan kekuasaan, pupularitas dan segala hal yang nisbi lainnya sebagai sandaran utamanya dan puncak tujuannya (segala-galanya), ia akan jatuh dalam jurang kekecewaan ketika semua itu tidak berhasil didapatnya atau terlepas dari dirinya.</p><p><br /></p><p>Sebaliknya, orang yang menjadikan Allah sebagai tumpuan dan sandarannya akan tetap tanggu wlau badai cobaan menerjangnya. Orang yang bertumpu pada kekayaan, sesungguhnya kekayaa itu akan hancur. Orang yang bertumpu pada kekuasaan, sesungguhnya kekuasaan itu akan berakhir.</p><p><br /></p><p>Orang yang bertumpu pada popularitas, sesungguhnya popularitas itu akan pudar. Kekuasaan (jabatan), popularitas, dan lain sebagainya akan mudah jatuh, karena semua itu. </p><p><br /></p><p>Makhluk itu dicipta, sedangkan Allah Maha Pencipta; pantaskah kita menjadikan yang dicipta sebagai sandaran hidup kita!? Makhluk itu fana, sedangkan Allah itu baqa; pantashkah kita menjadikan yang fana’ sebagai tujuan segala-galanya!?</p><p><br /></p><p>Makhluk itu selalu bergantung dan membutuhkan, sedangkan Allah tampat segalanya bergantung dan Mahakaya; layakkah kita menggantungkan hidup pada yang selalu bergantung dan membutuhkan!? </p><p><br /></p><p>Makhluk itu lemah, sedangkan Allah mahakuasa; patutkah bertumpu pada yang lemah!? Sudahkah kita ikhlas dalam hidup ini?</p></div>Unknownnoreply@blogger.com0