Imam Ibn Jarir al-Thabari, Ulama Pecinta Al-Quran
  • Jelajahi

    Copyright © nasihatku - Referensi Hijrah Terbaik
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Imam Ibn Jarir al-Thabari, Ulama Pecinta Al-Quran

    Tim Redaksi
    13 Januari 2022, 15:26 WIB Last Updated 2022-01-13T08:26:29Z

     


    Luar biasa sekali perjuangan ilmu Imam Al-Thabari. Seluruh hidupnya diwakafkan untuk menuntut ilmu. Waktunya, tidak disia-siakan untuk hal-hal yang tiada manfaatnya. Dia sampai mengabaikan dirinya untuk menikah, karena kehausannya terhadap ilmu pengetahuan.

    Tak hanya itu, kesehariannya adalah tasbih dan zikir, yang direalisasikan dalam sifatnya yang zuhud dan wara’. Meskipun jomblo, beliau tidak merasa resah sedikitpun. Karena telah meneguk kenikmatan dan kelezatan ilmu yang dicarinya.

    Ibnu Jarir al-Thabari lahir di Amal, daerah subur di Tabaristan (Turkmenistan), selatan laut Kaspia pada tahun 224 H atau 923 M. Dia bernama lengkap Muhammad bin Jarir al-Thabari bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Panggilannya adalah Abu Ja’far.

    Sejak kecil, ayahnya sangat perhatian dalam membiayai Ibn Thabari mencari ilmu. Itu terjadi karena ayahnya bermimpi melihat Rasulullah dan Ibn Thabari membawa sekeranjang batu. Dalam mimpinya, dia melihat Ibnu Thabari sedang melempar batu dihadapan rasulullah.

    Mimpinya ditafsirkan oleh ahli tafsir mimpi bahwa Imam Thabari kelak akan menjadi seorang yang memelihara syariatnya. Maka tak heran, pada usia 7 tahun Ibnu Al-Thabari sudah menghapal Qur’an. Menjadi imam shalat pada usia 8 tahun. Dan menulis hadits ketika berusia 9 tahun.

    Seluruh waktunya digunakan untuk mencari ilmu. Dia menempuh perjalanan jauh mencari ilmu sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Bekal perjalanannya berasal dari harta ayahnya dan warisan ayahnya yang dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam menimba ilmu, menyalin dan membeli kitab.

    Tatkala berusia 40 tahun dan telah kenyang menjalani hidup dalam mencari ilmu, Imam Al-Thabari tinggal menetap dengan sedikit harta yang dimilikinya.

    Imam al-Thabari memiliki kepandaian dan kecerdasan yang luar biasa. Ia mengisahkan bahwa dirinya mampu menguasai ilmu arudh (Ilmu tentang syair atau sajak) dengan mempelajari kitab arudh tersebut dalam tempo semalam. Imam Ibnu al-Thabari dikenal sebagai mujtahid mutlak, ahli tafsir, hadits, sejarawan, fiqh dan ushul fiqh serta ahli bahasa.

    Setelah tinggal menetap, dirinya difokuskan untuk menulis dan mengajarkan ilmunya.

    Ia penulis yang sangat produktif, dengan puluhan buku dalam bidang keilmuan Islam. Selama 40 tahun, Ibnu Jarir ath-Thabari menulis kitab dan bisa menghasilkan tulisan sebanyak 40 halaman setiap harinya. Karyanya yang sangat terkenal antara lain, Tafsir al-Qur’an berjudul “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Quran sebanyak 30 jilid dan “Tarikh al-Rusul, wa al-Anbiya wa al-Muluk wa al-Umam” (sejarah para utusan Tuhan, para nabi, raja-raja dan bangsa-bangsa) sebanyak 8 jilid, masing-masing 700 halaman. Kemudian “Tahdzib al-Atsar”“Ikhtilat ulama al-Amshar”“Adab al-Qadhi (Etika hakim).

    Imam al-Thabari adalah seorang yang zuhud dan wara’. Ia menolak menerima jabatan sebagai Qadhi (hakim) di wilayah al-Mazhalim, meskipun diberi gaji yang tinggi. Ia cukup puas dengan sepetak tanah warisan ayahnya di Thabaristan. Apabila ath-Thabari diberi hadiah, ia hanya akan menerimanya jika dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik.

    Namun bila tidak, ia akan menolaknya dengan ramah dan meminta maaf kepada pemberi hadiah. Ia selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan para ulama.

    Dia tidak takut celaan dan cercaan manusia, meskipun menyakitkan. Dia tidak terpancing sedikit pun ataupun membalas cercaan mereka. Namun ia bergegas meninggalkan dan menulis masalah perdebatannya dalam sebuah kitab.

    Ia paham, mereka yang mencela dan mencercanya adalah orang-orang bodoh, hasad dan mengingkarinya. Karena orang-orang yang berilmu dan ahli menjalankan agama tidak akan berbuat demikian kepadanya.

    Ketika seseorang telah berusia 35 sampai 40 tahun dan disibukkan dengan ilmu, maka keinginan untuk menikah terabaikan. Begitu juga Ibnu Ath-Thabari. Hingga akhir hayatnya ia hidup membujang. Karena dirinya disibukkan dengan ilmu. Dilahapnya kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar.

    Baginya, ilmu memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak pernah dirasakan kecuali yang telah menjalaninya.

    Ibnu Jarir ath-Thabari meninggal di sore hari, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 H, pada usia 86 tahun. Dia dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qu, Baghdad.
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Cendekia

    +